Proposal Thesis


KESESUAIAN LAHAN UNTUK BUDIDAYA TAMBAK UDANG DI  DAERAH PESISIR KABUPATEN MUNA BAGIAN BARAT SULAWESI TENGGARA

Usulan Penelitian  Untuk Tesis S-2

Program Studi Ilmu Lingkungan
Kelompok Program Studi Antar Bidang


 















diajukan oleh

Mulis
24006/IV-7/564/06






kepada
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA

Februari, 2008
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL....................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................................   iii
DAFTAR TABEL.........................................................................................................    v
DAFTAR GAMBAR..................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang       1
1.2.Perumusan Masalah.................................................................................................... 4
1.3. Tujuan Penelitian.....................................................................................................  4
1.4. Manfaat Penelitian...................................................................................................   5
1.5. Keaslian Penelitian...................................................................................................  5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................   9
2.1. Budidaya Tambak....................................................................................................   9
2.2. Sistem Budidaya Tambak........................................................................................   9
2.3.  Persyaratan Lahan Untuk Tambak Udang.............................................................. 11
2.3.1.  Topografi dan Karateristik Pasang Surut............................................................. 11
2.3.2.  Banjir................................................................................................................... 12
2.3.3.  Tanah................................................................................................................... 14
2.3.4.  Air........................................................................................................................ 21
2.4.  Lahan, Karateristik Lahan, Evaluasi Lahan, Kesesuaian Lahan dan
 Struktur Klasifikasi Kesesuaian Lahan................................................................... 28
2.5.  Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir.................................................................... 33
2.6.  Plankton.................................................................................................................. 34
2.7.  Sikap....................................................................................................................... 35
2.8.  Landasan Teori....................................................................................................... 36
2.9. Kerangka Pemikiran................................................................................................. 37
2.10. Hipotesis................................................................................................................ 38
BAB III CARA PENELITIAN..................................................................................... 40
3.1. Metode Penelitian ................................................................................................... 40
3.2. Bahan dan Alat........................................................................................................ 40
3.2.1. Bahan ................................................................................................................... 40
3.2.2. Alat....................................................................................................................... 41
3.3. Pelaksanaan Penelitian............................................................................................. 42
3.4. Variabel Penelitian................................................................................................... 51
3.5. Analisis Data............................................................................................................ 51
3.6. Jadual Kegiatan Penelitian....................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................   60

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Garis-Garis Besar Haluan Negara dengan jelas menyebutkan bahwa sumberdaya alam merupakan salah satu modal dasar dalam pembangunan. Sebagai modal dasar sumberdaya alam harus dimanfaatkan sepenuhnya, tetapi dengan cara-cara yang tidak merusak, bahkan sebaliknya, cara yang dipilih yang dapat memelihara dan mengembangkan agar modal dasar tersebut makin besar manfaatnya untuk pembangunan lebih di masa yang akan datang.
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu pada ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa “pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu dalam dalam pemanfaatan penataan, pemeliharaan, pengawasan, pengendalian, pemulihan dan pengembangan lingkungan hidup”. Sebagaimana judul penelitian yang akan diambil yaitu Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Tambak Udang Di Daerah Pesisir Kabupaten Muna Bagian Barat Sulawesi Tenggara, merupakan wujud dari pengelolaan lingkungan hidup.
Mengingat lingkungan perairan pantai atau pesisir merupakan perairan yang sangat produktif, maka panjang pantai Indonesia merupakan potensi sumberdaya alam (hayati) yang besar untuk pembangunan ekonomi di negara ini. Potensi sumberdaya laut dan pantai yang belum dimanfaatkan secara optimal, salah satunya budidaya udang. Pemanfaatan potensi perikanan pantai budidaya udang terutama tambak saat ini masih sangat perlu dikembangkan. Budidaya udang merupakan sistem pemeliharaan dan pemanenan ikan atau udang tertutup, bertujuan untuk meningkatkan produksi ikan dan udang. Budidaya perairan di Indonesia penting peranannya karena potensi budidaya perairan tersebut sangat besar, tetapi produktifitasnya masih rendah (Kamiso, 1993).
Udang merupakan komoditas andalan perikanan nasional, komoditas udang merupakan penyumbang terbesar devisa yang berasal dari sektor perikanan. Udang memberikan kontribusi sebesar 60% dari total nilai ekspor hasil perikanan. Produksi udang nasional pada tahun 2002 menempati urutan kedua dunia yaitu sebesar 679.000 ton. Volume udang nasional sebesar 116.200 ton atau sekitar 17 % dari produksi nasional (Danakusumah dan Putro, 2003).
Pemberdayaan dan pengembangan sumberdaya lahan memerlukan pendalaman pengetahuan mengenai potensi melalui karateristik sumberdaya lahan tersebut. Potensi sumberdaya lahan di Kawasan Timur Indonesia khususnya untuk subsektor perikanan sebagian besar belum dimanfaatkan secara optimal termasuk Sulawesi Tenggara. Di tingkat nasional, pemerintah telah menetapkan pengembangan budidaya tambak melalui intensifikasi seluas 7.494 ha, di Sulawesi Tenggara Nurjana, (1999). Jenis tanah yang dijumpai di Sulawesi Tenggara adalah tanah sulfat masam dan tanah gambut. Keberadaan tanah marginal tersebut di kawasan pesisir yang lingkungan perairannya mendukung untuk usaha budidaya tambak udang. Namun dalam pemanfaatannya belum secara maksimal diduga ketidak mampuan lahan dan masih rendahnya pengetahuan para petani tambak terhadap penerapan teknologi yang pada akhirnya menyebabkan produktifitas tambak menjadi menurun. Oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi kesesuaian lahan untuk penaksiran potensi lahan untuk tambak udang merupakan salah satu hal yang sangat perlu dilakukan, sehingga dapat diketahui sesuai atau tidak sesuainya suatu lahan untuk hidup berkembang udang.
Kabupaten Muna merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara dengan luas daratan 4.887 km2 dan luas laut 5.625 km2 dengan panjang garis pantai 865 km dan jumlah penduduk sebanyak 254.707 jiwa BPS, (2004). Sesuai dengan letak geografisnya wilayah pesisir Kabupaten Muna memiliki sumberdaya alam yang cukup menunjang pertumbuhan ekonomi.
Wilayah Kabupaten Muna bagian barat memiliki potensi dan strategis. Hal ini disebabkan, sebahagian luas daerah Kabupaten Muna merupakan daerah pesisir yang belum mendapat perhatian khusus untuk pengembangan budidaya tambak di Provinsi Sulawesi Tenggara. Kawasan pantai barat pulau Muna, memiliki sumberdaya yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi suatu kawasan industri perikanan yang terpadu yang berbasis pada budidaya udang (Anonim, 2006).
Potensi lahan untuk budidaya air payau (tambak) di Kabupaten Muna ± 20.000 Ha, yang baru termanfaatkan untuk kegiatan budiadaya tambak ±250 Ha dengan komoditi yang dipelihara adalah udang dan bandeng, dengan metode masih tradisional dan semi intensif, dengan jumlah produksi udang 177,6 ton pertahun DKP, (2005). Rendahnya jumlah produksi udang disebabkan oleh faktor kesesuaian lahan dan ketidak mampuan para petani dalam menerapkan teknologi budidaya udang dari sistem tradisional menjadi semi intensif, sehingga perlu dilakukan penelitian untuk evaluasi kesesuaian lahan dan faktor lain yang menghambat budidaya tambak udang di Kabupaten Muna Bagian Barat.

1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut;
1. seberapa jauh tingkat keberhasilan tambak udang di daerah penelitian;
2. faktor-faktor apakah yang menyebabkan ketidak berhasilan budidaya tambak udang di daerah penelitian;
3. bagaimanakah tingkat kesesuaian lahan untuk budidaya tambak udang di daerah penelitian.

1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk;
1 menilai tingkat keberhasilan tambak udang berdasarkan produktivitas tambak udang di daerah penelitian;
2 menganalisis faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pengembangan budidaya tambak di daerah penelitian;
3 mengevaluasi kesesuaian lahan tambak udang yang ada dan lokasi yang belum dijadikan tambak udang (non tambak) di daerah penelitian.


1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengetahuan dan pembangunan yang dirinci sebagai berikut:
1. bidang keilmuan dapat menambah perbendaharaan terapan dalam pengelolaan lingkungan pesisir untuk pengembangan budidaya tambak udang;
2. sebagai bahan rekomendasi dan pertimbangan bagi pemerintah setempat dalam rangka penataan kawasan pesisir di Kabupaten Muna bagian barat, sehingga secara ekonomis tidak terjadi benturan ruang antara kepentingan masing-masing penggunaan lahan dan secara ekologis dapat dipertahankan keseimbangan lingkungan.

1.5 Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang sejenis pernah dilakukan, akan tetapi dari beberapa penelitian tersebut terdapat beberapa perbedaan secara prinsip dengan penulis lakukan terutama lokasi penelitian, metode penelitian serta tujuan yang akan dicapai. Marjan (1991), dengan penelitian berjudul Fluktuasi Kualitas Air dan Pengaruhnya Terhadap Indeks Diversitas Plankton dan Bentos di Pertambakan Daerah Hilir Sungai Wonokromo Surabaya”. Tujuan penelitian ini mengetahui fluktuasi kualitas air, kemungkinan terjadinya pencemaran dan pengaruhnya terhadap indeks dan diversitas plankton dan bentos pada pertambakan intensif. Hasil penelitian menunjukan tidak ada perbedaan kualitas air secara nyata antara air yang mempunyai sumber di air payau.
Karyaningsih (2002), dengan judul penelitian “Evaluasi Sistem Pengelolaan Tambak dan Respon Petani Tambak Terhadap Inovasi Teknologi Budidaya Udang yang Ramah Lingkungan”. Hasil penelitian menunjukkan, faktor yang mempengaruhi kuat terhadap respon petani tambak adalah: usia, tingkat pendidikan, pengalaman, luas lahan garapan, pengetahuan dan sikap.
Mustafa (2004), dengan penelitian yang berjudul “Karateristik dan Kelayakan Lahan Budidaya Tambak di Kecamatan Sampara Kabupaten Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara”. Tujuan penelitian ini mengetahui kualitas tanah dan vegetasi dominan di daerah Kecamatan Sampara, selanjutnya dituangkan dalam bentuk peta. Hasil penelitian menunjukan jenis tanah dominan dengan vegetasi untuk mendukung untuk tambak udang.
Nugroho (2005), dengan judul penelitian “Studi Kesesuaian Lahan Untuk Perikanan di Lahan Banjir Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul” Tujuan penelitian ini mengetahui tingkat kesesuaian lahan, merencanakan pengembangan budidaya ikan dengan teknik budidaya dan jenis komoditas ikan yang sesuai dengan kondisi yang ada. Hasil penelitian menunjukan tehnik budidaya yang cocok diterapkan di daerah ini dengan menggunakan teknologi sistem hampang dengan jenis komoditas ikan nila.
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.1. berikut;

Tabel 1.1. Beberapa Penelitian yang Dilakukan Sebelumnya
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil
1 Ponco Marjan
1991
Fluktuasi Kualitas Air dan Pengaruhnya Terhadap Indeks Diversitas Plankton dan Bentos di Pertambakan Daerah Hilir Sungai Wonokromo Surabaya. mengetahui fluktuasi kualitas air, kemungkinan terjadinya pencemaran dan pengaruhnya terhadap indeks diversitas plankton dan bentos pada pertambakan intensif. survey, dengan desain acak sempurna dengan subsampling untuk melihat fluktuasi kualitas air. Tidak ada perbedaan kualitas air secara nyata antara air yang mempunyai sumber air payau.
2 Sri Karyaningsih
2002 Evaluasi Sistem Pengelolaan Tambak dan Respon Petani Tambak Terhadap Inovasi Teknologi Budidaya Udang Yang Ramah Lingkungan -mengevaluasi teknologi budidaya udang dengan menggunakan sistem tandon yang disebut sebagai teknologi budidaya udang ramah lingkungan
-mengetahui besarnya respon petani tambak dalam penerapan teknologi budidaya udang sistem tendon
-mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap respon petani tambak dalam penerapan teknologi budidaya udang sistem tendon. survey secara purposive sampling , untuk petani digunakan random sampling yang mengusahakan lahannya untuyk tambak dan tidak dengan sistem tendon. Faktor yang mempengaruhi kuat terhadap respon petani tambak adalah : Usia tingkat pendidikan pengalaman luas, lahan garapan, pengetahuan dan sikap.
3 Akmad Mustafa
2004


Karateristik dan Kelayakan Lahan Budidaya Tambak di Kecamatan Sampara, Kabupaten Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara mengetahui kualitas tanah dan mengetahui vegetasi dominan di daerah Kecamatan Sampara sistem informasi geografis (SIG), Kriteria didasarkan Kurva-kurva hipotesis dan studi korelasi peubah tanah dan air terhadap produktivitas tambak Tanah sulfat masam merupakan jenis tanah yang mendominasi kawasan pesisir Kecamatan Sampara dan berada dalam kualitas air yang mendukung untuk tambak udang, dengan vegetasi dominan Nypa fruticans dan Rhizopora sp.
4 Agung Nugroho
2005

Studi Kesesuaian Lahan Untuk Perikanan di Lahan Banjir Desa Srigading, Kecamatan Sanden, Kabupaten Bantul -mengetahui tingkat kesesuaian lahan,
-merencanakan pengembangan budidaya ikan dengan teknik budidaya dan jenis komoditas ikan yang sesuai dengan kondisi yang ada. deskriptif, dan kuantitatif . untuk kualitas air dengan purposiv sampling. Untuk penilaian sosial dengan melakukan survey. teknik budidaya ikan yang cocok diterapkan di daerah ini sistem hampang dengan jenis komoditas ikan nila
5 Mulis
2007
Kesesuaian Lahan Untuk Budidaya Tambak Udang di Pesisir Kabupaten Muna Bagian Barat Provinsi Sulawesi Tenggara -mengevaluasi tingkat keberhasilan tambak udang di daerah penelitian; -menganalisis faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi pengembangan budidaya tambak di daerah penelitian;
-mengevaluasi kesesuaian lahan untuk budidaya tambak udang di daerah penelitian.
survey skoring untuk menentukan kesesuaian lahan dengan membandingkan karateristik dan kualitas lahan dengan metode purposive sampling sampel sosial dalam melakukan wawancara dengan kwisioner. belum ada
BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Budidaya Tambak
Budidaya tambak adalah kegiatan usaha pemeliharaan/pembesaran udang atau ikan di tambak mulai dari ukuran benih/benur sampai menjadi ukuran yang layak untuk dikonsumsi Mujiman, (2004). Kesuburan tambak dapat ditingkatkan dengan cara pemupukan dan pengelolaan air yang lebih baik, sehingga daya dukung untuk pemeliharaan udang lebih besar. Pemberantasan hama lebih diintensifkan. Konstruksi cetakan tambak, kontrusi tanggul dan saluran pengairannya diperbaiki sehingga kualitas air tambak dapat dikendalikan secara lebih baik dan cocok untuk kehidupan udang yang di pelihara.
Budidaya tambak merupakan bagian dari ekosistem daerah estuarin. Pembentukan daerah estuarin dari suatu aliran sungai yang menuju ke laut. Daerah ini merupakan pertemuan air tawar yang berasal dari daratan dan air laut akibat pasang surut mengakibatkan daerah menjadi subur dan kaya akan bahan organik (Pethick, 1984).
2.2. Sistem Budidaya Tambak
Sistem budidaya tambak yang dikenal sekarang, ada 3 tingkatan yaitu; budidaya ekstensif (tradisional), semi-intensif dan intensif. Sistem budidaya tradisional atau ekstensif, mempunyai bentuk tambak yang tidak teratur dengan luas antara 3-10 ha per petak. Saluran keliling dengan lebar 5-10, di sepanjang keliling petakan sebelah dalam. Di bagian tengah di buat caren dari sudut ke sudut (diagonal). Kedalaman saluran keliling 30-50 cm lebih dalam dari pada bagian lain dari dasar petakan yang disebut pelataran Bagian pelataran dapat di isi air sedalam 30-40 cm, tempat ini akan ditumbuhi klekap sebagai bahan pakan alami ikan bandeng atau udang. Tambak tradisional, semula tidak dipupuk sehingga produktifitas semata-mata tergantung dari makanan alami yang kelebatanya tergantung dari kesuburan alamiah. Pemberantasan hama juga tidak dilakukan, sehingga benih/benur yang dipelihara banyak yang mati. Akibatnya produktifitas semakin rendah.
Sistem budidaya semi intensif atau tradisional yang diperbaiki merupakan peningkatan/perbaikan dari sistem tradisional/ekstensif yaitu dengan memperkenalkan bentuk petakan yang teratur dengan maksud agar lebih mudah dalam pengelolaan air. Bentuk petakan umumnya empat persegi-panjang dengan luas 1-3 ha per petakan. Tiap petakan mempunyai pintu pemasukan (inlet) dan pintu pengeluaran air (outlet) yang terpisah untuk keperluan penggantian air, penyiapan kolam sebelum ditebari benih, dan pemanenan. Dasar petak yang tidak digali sebagai saluran keliling (caren), di buat pelataran. Kedalaman air di pelataran hanya 40-50 cm, bila kolam diisi penuh. Pelataran dapat di tumbuhi klekap sebagai bahan pakan alami untuk udang. Klekap tumbuh dengan subur di tempat yang berair dangkal, bila kadar garam agak tinggi (lebih dari 30o/oo). Tambak semi-intensif pengelolaan air cukup baik, ketika air pasang naik, sebagian air tambak diganti dengan air baru sehingga kualitas air cukup terjaga dan kehidupan udang sehat. Pemberantasan hama udang dilakukan pada waktu mempersiapkan tambak sebelum penebaran benur. Serangan hama dicegah dengan melakukan pemasangan sistem saringan pintu-pintu air (Suyanto dan Mujiman, 2004).
Sistem budidaya intensif dilakukan dengan teknik canggih dan memerlukan masukan (input) biaya yang besar. Sebagai imbangan dari tinggi, maka dapat dicapai volume produksi yang sangat tinggi pula. Petakan umumnya kecil-kecil, 0,2-0,5 ha per petak. Maksudnya agar pengelolaan air dan pengawasan lebih mudah. Kolam/petak pemeliharaan dapat dibuat dari beton seluruhnya atau dari tanah seperti biasa, atau dindingnya saja dari tembok sedangkan dasar masih tanah. Ciri khas dari budidaya ini adalah padat penebaran benur sangat tinggi yaitu 50.00 sampai 600.000 ekor/ha. Makanan tergantung dari makanan yang diberikan dengan komposisi yang ideal bagi pertumbuhan. Diberi aerasi (dengan kincir, atau alat lain) untuk menambah kadar oksigen dalam air. Penggantian air dilakukan sangat sering, agar air tetap bersih tidak menjadi kotor oleh sisa-sisa makanan dan kotoran (Suyanto dan Mujiman, 2004).

2.3. Persyaratan Lahan untuk Tambak
Menurut CSR/FAO (1983) dan REPROT (1983), persyaratan lahan yang diperlukan untuk tambak udang windu adalah topografi, kondisi tanah, kondisi air, kisaran pasang surut dan iklim. Uraian lebih lanjut persyaratan tambak udang dapat dijelaskan sebagai berikut
2.3.1. Topografi dan Karateristik Pasang Surut
Daerah pertambakan sebaiknya terhindari dari tempat dengan topografi bergelombang dan elevasi yang terlalu tinggi sebab akan banyak memerlukan biaya dalam penggalian dan perataan tanah. Disamping itu penggalian tanah yang banyak dan dalam akan menyebabkan lapisan tanah atas yang subur terbuang, sehingga untuk menjadikan subur kembali diperlukan pemupukan dengan dosis tinggi dan dalam waktu yang lama. Daerah dekat sungai dan pantai pada umumnya merupakan tempat yang baik untuk pertambakan (Sudjiharno, dkk,1984).
Pemilihan lokasi untuk lahan pertambakan diusahakan sepanjang jalur pantai atau daerah pasang surut yang idealnya adalah elevasi yang terendam air sedalam 0,5-1,0 meter selama periode rata-rata pasang tinggi dan dapat di keringkan tuntas waktu air rendah rata-rata Buwono, (1993). Selanjutnya pada budidaya tambak udang yang berpola tradisional atau ekstensif, lokasi yang ideal dianjurkan berada di wilayah pasang surut terendah 1,5 m dan tertinggi 2,5 m. Umumnya lokasi dengan amplitudo pasang surut sedang (2-3) meter sangat cocok untuk memanfaatkan arus pasang untuk pengisian air tambak. Pasang surut air laut dipengaruhi oleh rotasi bumi dan posisi bulan (Amri, 2003).
2.3.2. Banjir
Areal tambak udang windu harus tidak berada di daerah yang rawan banjir Soetomo, (1990). Hal ini disebabkan bila terjadi banjir udang windu yang akan dipelihara akan ikut hanyut, sehingga mengakibatkan kerugian yang cukup besar.
Bambang (1991), mengatakan bahwa tanggul primer atau pematang utama yang mengelilingi semua unit tambak yang dibutuhkan mempunyai ketinggian kurang lebih 0,5 meter di atas permukaan air pasang di atas ketinggian aliran air yang rutin, dengan lebar permukaan atas sekitar 2-2,5 m, tergantung dari topografi dari masing-masing garis pantai.
Menurut Van Zuidam (1982), dengan modifikasi, Bambang,(1991), kerentanan banjir dikelaskan menjadi 5 kelas, yaitu;
1. sangat rentan: rata-rata sekali dalam waktu 2 tahun dengan kedalalman genangan 3,0 - 2,0 m;
2. rentan: rata-rata sekali dalam waktu 5 tahun dengan kedalaman genangan 2,0 - 1,5 m;
3. agak rentan: rata-rata sekali dalam waktu 10 tahun dengan kedalaman genangan 1,5 - 1,0 m;
4. kurang rentan: rata-rata sekali dalam waktu 25 tahun dengan kedalaman genangan 1,5 - 1,0 m;
5. tidak rentan: tidak pernah banjir.
Kelima kelas kerentanan banjir tersebut jika disesuaikan dengan persyaratan hidup udang windu maka akan direduksi menjadi tiga kelas, yaitu:
1. tinggi: rata-rata sekali dalam waktu 2-5 tahun dengan kedalaman genangan 1,5 - 3 m;
2. sedang: rata-rata sekali dalam waktu 25 tahun dengan kedalaman genangan 1 – 1,5 m;
3. rendah: rata-rata sekali dalam waktu 10 tahun dengan ke dalaman kurang dari 1 m (Bambang, 1991).



Tabel 2.1. Nilai Skor Variabel Kesesuaian Lahan Tambak Tradisional
No Variabel Skor
1 Bentuklahan;
a. dataran pasang surut, dataran fluvio marine, dataran banjir
b. rawa belakang
c. beting pantai/gisik, dataran alluvial
3

2
1

2 Kemiringan lereng
a. 0 -2 %
b. 3 – 5 %
c. > 5 %
3
2
1
3
Penggunaan lahan;
a. laut, semak belukar, pemukiman, kuburan
b. hutan, sawah, tegalan, ladang, dan lahan kosong
c. rawa

3

2
1
4 Hidrologi (jarak sumber air payau ke darat)
a. 0 – 1.500 m
b. 1500-3.000 m
c. >3000 m

3
2
1

Zonasi Kesuaian Lahan Jumlah Skor
1
2
3 Tidak Sesuai (N)
Agak Sesuai (S2)
Sesuai (S1) 0 – 4
5 – 8
9 - 12
Sumber : Mardi Wibowo dan Lestario Widodo (2000).

2.3.3. Tanah
Persyaratan tanah memegang peranan penting dalam menentukan baik tidaknya tanah untuk budidaya tambak udang. Tanah yang baik, tidak hanya yang mampu menahan air, tapi tanah tersebut harus mampu menyediakan berbagai unsur hara bagi makanan alami untuk udang yang dipelihara. Tanah yang banyak mengandung pasir kurang baik untuk pertambakan, sebab disamping sangat poreous juga miskin unsur hara yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan algae dan berbagai makanan alami algae sebagai makanan alami benur. Dengan demikian fungsi utama tanah dasar tambak disamping untuk menahan air, juga untuk menyediakan unsur hara dalam tanah yang sangat dibutuhkan untuk makanan alami (Buwono, 1993).
Kemampuan tanah menyediakan berbagai unsur hara yang sangat diperlukan makanan alami dipengaruhi oleh kesuburan tanah yang bersangkutan yang ditentukan oleh komposisi kimiawi tanah. Tanah yang alkalis (basa) lebih subur dan produktif dari pada tanah yang asam. Selain kesuburan tanahnya, tanah tambak juga harus mampu menahan air. Tanah yang dapat menahan air sangat tergantung dari tekstur tanah. Semakin jelas teksturnya, tanah tersebut makin kuat menahan air. Tetapi tanah pasir yang kurang kompak teksturnya tidak mampu menahan air. Oleh karena itu tanah pasir tidak baik untuk dasar tambak.
Ada beberapa parameter tanah yang digunakan sebagai lokasi budidaya udang, adalah sebagai berikut:
(1) Tekstur tanah
Tekstur tanah sangat ditentukan oleh banyaknya komposisi pasir, lumpur dan liat. Menurut Davide (1976) dalam Denila L (1977), tekstur tanah dapat dibedakan menjadi berbagai tekstur yaitu lempung liat (clayloam), lempung berpasir (sandyloam) serta lempung berlumpur (siltyloam).
Menurut Mujiman, dkk (1993), tanah yang ideal untuk tambak adalah tanah yang bertekstur lempung atau lempung berpasir karena dapat menahan air. Selanjutnya Dela Cruz dalam Afriyanto, dkk (1991), telah mengkelaskan kesesuaian/kelayakan untuk tambak dari berbagai tekstur tanah pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Hubungan antara Tekstur Tanah dengan Kelayakannya Sebagai Lahan Tambak
Tekstur Tanah Permeabilitas Kelayakan
Lempung
Lempung berpasir
Geluh
Debu
Organik kedap air
kedap air
semi kedap air
semi kedap air
tidak kedap air
sangat baik
baik
sedang
jelek
buruk
Sumber: Dels Cruz dalam Afriyanto,dkk. (1991)
Selain perbedaan tekstur, tanah tambak menunjukan warna yang berbeda. Warna tersebut disebabkan oleh senyawa bahan-bahan kimia yang terdapat dalam tanah, yang terdiri dari bahan-bahan mineral dan bahan-bahan organik berbagai ukuran. Mengenai hubungan tanah dengan kesuburan dapat dilihat dalam Tabel 2.3.
Tabel 2.3. Tekstur Tanah dengan Pertumbuhan Alga Dasar (klekap)
No Pasir
(sand) Lumpur
(silt) Liat
(clay) Tekstur tanah Pertumbuhan algae dasar (klekap)
1
2

3

4 28%
14%

63%

79% 22%
44%

14%

10%
50%
42%

22%

11% lempung (clay)
lempung berpasir
(siltyclay)
lumpur liat berpasir
(sandy clay loam)
lumpur berpasir
(sandy loam) sangat sedikit
lebat

sedikit

sangat sedikit
Sumber: Fish Pond Soil and Fertilizer by D.J. Vilbaluz (1953) dalam Buwono (1993)



2. pH tanah
pH tanah sering menjadikan penentu tingkat produktifitas perairan budidaya ikan. Karena pH tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan alga dasar (klekap) yang merupakan pakan alami bagi organisme budidaya. Tambak baru atau tambak lama yang kurang perawatanya pada umumnya pH rendah, antara 4,5 - 5 (tanah masam). Keadaan seperti ini tidak baik, karena pH yang baik untuk tambak udang windu adalah 7,5 - 8,5 Soetomo, (1990). Hal ini biasa terjadi yang sering tergenang air, sehingga tanah terendapi oleh unsur-unsur yang terdapat di air akibat penguapan air. Tanah yang masam biasanya terdapat pada tanah rawa, laguna dan backswamp.
3. Kandungan Bahan Organik
Bahan organik yang ada di dalam tanah merupakan faktor yang menentukan sifat kimia dari pada tanah. Bahan organik merupakan reservoir atau tendon unsur nitrogen (N) di dalam tanah. Proses perombakan bahan organik terurai, unsur nitrogen terkandung akan dilepas dalam bentuk ikatan kimia yang dapat diserap oleh algae dasar (Buwono,1993).
Menurut Afriyanto dkk (1991), kandungan bahan organik di dasar tambak sangat mempengaruhi pertumbuhan klekap, karena merupakan sumber nitrogen. Makin tinggi kandungan bahan organik makin tinggi pula jumlah Nitrogen yang dikandungnya, sehingga pertumbuhan klekap akan semakin baik. Berdasarkan kenyataan di lapangan tambak atau kolam yang banyak mengandung bahan organik (tanah humus) sangat produktif untuk pertumbuhan algae dasar. Dapat dilihat pada Tabel 2.4
Tabel 2.4. Hubungan Pertumbuhan antara Kadar Bahan Organik dengan Pertumbuhan Algae Dasar
Kadar bahan organik (%) Pertumbuhan algae dasar
di atas 16 %
9 % - 1 5 %
7 % - 8 %
6 % Sangat lebat
Lebat
Sedikit
Sangat sedikit

Sumber : Vilbaluz, (1953)
Kandungan bahan organik dapat mempengaruhi kesuburan tanah tambak apabila jumlahnya berlebihan dapat membahayakan kehidupan dan populasi udang windu yang dipelihara sebab proses peruraian bahan organik dapat menghabiskan oksigen dalam air dan mengeluarkan gas-gas beracun seperti NH3, CO2 dan H2S. Hubungannya dapat dilihat pada Tabel 2.5
Tabel 2.5. Hubungan Antara Kandungan Bahan Organik dengan Tingkat Kesuburan Tanah Tambak.
Kandugan bahan organik (%) Tingkat Kesuburan
< 1,5 1,6 - 3,5 > 3,5 rendah
sedang
tinggi
Sumber: Mintardjo, dkk. (1984)
4. Unsur hara dalam tanah
Unsur hara yang terdapat di lokasi calon tambak sangat bermanfaat dalam menentukan kualitas tambak yang akan dibuat. Daerah yang cukup mengandung unsur hara, karena di daerah tersebut klekap dan tumbuhan air lainnya yang berperan sebagai makanan alami udang windu dapat tumbuh dengan baik. Unsur hara yang dibutuhkan pertumbuhan klekap dan tanaman air adalah Nitrogen dan Fosfor.
1. Nitrogen
Sumber utama Nitrogen yang terdapat dalam tambak berasal dari bahan organik. Nitrogen yang terdapat dalam bahan organik tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh klekap atau tumbuhan air lainnya, karena masing-masing terbentuk persenyawaan kompleks. Selain itu bahan organik dapat berasal dari nitrogen bebas yang terdapat di udara. Untuk hubungan antara kandungan unsur nitrogen dapat dilihat dalam Tabel 2.6
Tabel 2.6. Hubungan Antara Kandungan Unsur Nitrogen dalam Tanah Dengan Tingkat Kesuburan Tanah Tambak
Kandungan Nitrogen (%) Kesuburan tanah Tambak
< 0,11 0,11 – 0,15 0,16 – 0,20 > 0,20 Sangat rendah
Rendah
Cukup
Tinggi
Sumber: Kisto Mintardjo, dkk (1984)
2. Fosfor
Unsur fosfor sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan klekap dan tumbuhan air lainnya dalam tambak. Semakin besar kandungan unsur fosfor di dalamnya tambak semakin subur tambak tersebut sehingga pertumbuhan klekap dan tumbuhan dalam tambak semakin baik Afriyanto, dkk (1991). Selanjutnya menurut Boyd.C.E. (1982), fosfor merupakan salah satu nutrisi utama di dalam tambak. Kandungan fosfor dalam tanah dapat dilihat pada Tabel 2.7
Tabel 2.7. Hubungan antara Kandungan Fosfor dalam Tanah dengan Tingkat Kesuburan Tanah Tambak
Kandungan fosfor (ppm) Kesuburan
< 36 36 – 45 > 45 rendah
sedang
tinggi

Sumber: Kisto Mintardjo, dkk (1984)
Fosfor berperan dalam pertumbuhan tanaman. Sumber utama fosfor dalam tanah berasal dari hasil pelapukan mineral yang mengandung fosfor dan dari bahan organik.
3. Kalium
Unsur kalium diserap dalam bentuk K+ dari larutan tanah. Sebagai unsur, kalium tidak dapat berdiri sendiri, tetapi selalu terdapat sebagai persenyawaan di dalam batuan, mineral dan larutan garam. Media budidaya ikan di tepi pantai seperti tambak, sumber kalium berasal dari air laut. Menurut Anonim (1989) dalam 1 liter air laut terkandung 75,1 ppm K2O. Kalium diperlukan dalam jumlah yang sedikit oleh alga dasar namun keberadaannya sangat diperlukan. Kalium dapat digunakan sebagai indikator kesuburan.
Tabel 2.8. Hubungan antara Kandungan Kalium dalam Tanah dengan Tingkat Kesuburan Tanah Tambak
Kandungan kalium (ppm) Tingkat kesuburan
< 350 350 - 500 > 500 Rendah
Sedang
Tinggi
Sumber Mintardjo, dkk (1984).
4. Kalsium dan Magnesium
Unsur kalsium dan Magnesium umumnya kurang diperhatikan, namun pengukuran kandungan unsur tersebut pada tanah tambak sebaiknya tetap dilakukan. Hal ini karena dengan mengetahui kandungan unsur kalsium dan magnesium dapat menduga tingkat kesuburan tanah tambak (Afriyanto, dkk 1991).
Kalsium dan magnesium terasimilasi oleh tanaman dalam bentuk Ca++ dan Mg++. Kalsium berfungsi untuk menyusun dinding sel tanaman, pembelahan sel dan pertumbuhan sedangkan magnesium berperan dalam pembentukan klorofil.
Tabel 2.9. Hubungan Antara Kandungan Unsur Kalsium dan Magnesium Dalam Tanah dengan Tingkat Kesuburan Tanah Tambak
Unsur yang dikandung (ppm) Tingkat kesuburan
Kalsium Magnesium
< 700 700 - 1200 > 1200 < 300 300 - 600 > 600 rendah
sedang
tinggi
Sumber Mintardjo, dkk (1984).
2.3.4. Air
Air sebagai media tempat hidup ikan yang di budidayakan harus memenuhi berbagai persyaratan dari segi fisik, kimia maupun biologi. Dari segi fisika, air merupakan tempat hidup yang menyediakan ruang gerak bagi udang yang dipelihara, dari segi kimia, air sebagai pembawa unsur-unsur hara, mineral vitamin, gas-gas terlarut dan sebagainya. Dari segi biologi, air merupakan media untuk kegiatan biologis dalam pembentukan dan penguraian bahan-bahan organik (Buwono, 1993).
Menurut Poernomo (1988), air sebagai tempat hidup udang windu yang dipelihara harus memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas kehidupan. Udang yang memenuhi persyaratan tersebut dapat hidup dan berkembang dengan baik. Parameter kualitas air yang minimal perlu diperhatikan adalah Salinitas, kecerahan,O2 terlarut, pH, NH3, NH4,NO2-(Nitrit), H2S, suhu.
1. Salinitas
Udang yang dipelihara pada salinitas antara 35-40 ppt, pertumbuhan agak lambat bila dibandingkan dengan udang yang dipelihara pada salinitas 15-25 ppt. Salinitas yang terlalu tinggi dapat menghambat terjadinya moulting sebagai indikator adanya pertumbuhan udang. Sebaliknya,pertumbuhan udang akan lebih cepat pada salinitas antara 5-10 ppt, tetapi lebih sensitif terhadap penyakit. Salinitas yang terlalu tinggi sering terjadi pada musim kemarau, sedangkan pada musim hujan salinitas terlalu rendah. Untuk mengatasi hal itu maka pengguna sumur air tawar dan sumur air asin sangat bermanfaat.
2. Suhu
Suhu yang dapat diterima untuk kehidupan udang berkisar 180- 350C, sedang suhu yang ideal adalah 250-300C. Apabila suhu turun sampai 180C dapat mengakibatkan aktifitas udang menurun. Jika terjadi demikian, maka pengaturan suhu harus dilakukan dengan cara memasukan air laut atau sebaliknya dengan pemasukan air tawar (dari sumur dalam) ke petak tambak. Salah satu masalah lain adalah adanya stratifikasi suhu akibat tidak adanya angin yang menggerakan arus air, sedangkan matahari sangat terik atau pada saat hujan lebat dimana lapisan air sebelah atas terisi air hujan yang bersuhu dingin sedangkan lapisan bawah terisi air yang bersuhu panas. Untuk melakukan pemerataan suhu pada keadaan tersebut dapat dioperasikan kincir-kincir air.
3. Oksigen terlarut
Tersedianya oksigen terlarut dalam air sangat menentukan kehidupan udang. Rendahnya kadar oksigen dapat berpengaruh terhadap fungsi biologis dan lambatnya pertumbuhan, bahkan dapat mengakibatkan kematian. Fungsi oksigen di tambak selain untuk pernapasan organisme juga untuk mengoksidasi bahan organik yang ada di dasar tambak. Jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk pernapasan udang tergantung ukuran, suhu dan tingkat aktifitasnya yang batas minimumnya adalah 3 ppm. Oksigen optimum pada budidaya intensif dengan pada penebaran 300 ribu ekor/ha berkisar antara 5-10 ppm.
4. pH air
Kisaran normal pH air untuk kehidupan udang berkisar antara 7,5 – 8,5. Namun tambak yang baru di bangun di hutan bakau dan belum direklamasi umumnya pH air sangat rendah, yakni sebesar di bawah 5. pH yang sangat rendah tersebut disebabkan oleh kemasaman tanah. Pengaruh langsung pH rendah terhadap udang adalah menyebabkan udang menjadi keropos dan kulitnya terlalu lembek.
Biasanya nilai pH terendah terjadi pada jam 04.00 dan tertinggi pada jam 16.00. Nilai pH air dapat menurun karena proses respirasi dan pembusukan zat-zat organik. Nilai pH rendah terserbut dapat menurunkan pH darah udang yang disebut proses acidosis sehingga fungsi darah untuk mengangkut oksigen juga menurun sehingga terjadi kesulitan pernapasan pada udang.
Menurut Li Tzu-Rung dan Sudiman (1988), kisaran pH air yang baik untuk ukuran 0,02-0,15 gram/ekor berkisar antara 7,9-8,3; untuk ukuran 16-30 gram/ekor nilai pH 7,7-8,2 dan ukuran lebih dari 30 gram/ekor adalah 7,7-8,0.
5. NH3 dan NH4
Amonia di dalam air terdiri dari dua bentuk yaitu yaitu NH4+ dan NH3 menurut reaksi NH3 + H2O NH4 + OH- dengan total ammonia (NH4+) + (NH3). Apabila pH air tinggi maka kadar NH3 menjadi tinggi dan sifat racunnya juga menjadi makin keras. Pada budidaya intensif yang padat penebarannya tinggi dan pemberian pakan sangat itensif, keadaan tersebut dapat menimbulkan penimbunan limbah kotoran dari sisa pakan, bangkai udang atau jasad lain yang terjadi sangat cepat dan jumlahnya sangat banyak di dasar tambak. Oleh karena itu pada waktu melakukan pergantian air tambak sebaiknya juga dilakukan pembuangan air dasar tambak melalui pipa pembuangan atau pada waktu selesai panen dilakukan pengeringan dasar tambak, pengangkutan sebagian lumpur dasar yang menghitam atau pun dengan pemberian kapur pertanian pada saat pengolahan tanah dasar. Total amonia yang baik bagi kehidupan udang dewasa adalah kurang dari 3 ppm dan bagi kehidupan benur kurang dari 1 ppm.
6. NO2- (Nitrit)
Peranan dan fungsi nitrit secara tidak langsung dapat mempengaruhi kehidupan udang. Kosentrasi nitrit normal untuk perairan adalah 0,15-0,1 ppm dan untuk benur (Pl20-Pl25), kadar nitrit yang terbaik adalah kurang dari 0,15 ppm. Di tambak-tambak yang kadar nitritnya dapat dipertahankan 0 ppm. Selama tiga sampai empat bulan adalah sangat baik. Hal ini menandakan adanya keseimbangan antara algae dengan udang.
Nitrit diperoleh dari hasil perombakan amonia oleh bakteri aerob Nitrosomonas menjadi NO2- dan seterusnya menjadi NO3- oleh bakteri NItrobacter di dalam proses nitrifikasi. Apabila kadar nitrit melebihi batas toleransi kehidupan udang, maka nitrit menjadi racun bagi udang sebab mengoksidasikan Fe2+ di dalam haemoglobin yang mengakibatkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen menurun.
7. H2S
Buwono (1993), mengatakan keadaan umum yang sering dijumpai di tambak-tambak selama masa pengoperasian tambak selama dua sampai tiga tahun adalah lumpur pada dasar tambak berwarna hitam dan berbau seperti telur busuk yang disebabkan oleh Kandungan H2S yang cukup tinggi. Kondisi tersebut disebabkan oleh lapisan dasar tambak yang selalu dalam keadaan an aerob sehingga aktivitas bakteri bakteri heterotrop di dasar tambak dapat menggunakan sulfat sebagai sumber energi didalam metabolismenya.
Batas toleransi kadar H2S untuk kehidupan udang adalah 0,001 ppm, sedangkan kadar optimum H2S adalah 0 ppm. Oleh karena itu pengendalian kadar H2S dengan cara pergantian air tambak maupun penjemuran tanah dasar tambak pada saat pengolahan tanah dasar sangat mengurangi kadar H2S.
8. Kecerahan (turbidity/kekeruhan)
Kebersihan air tambak sangat penting bagi kehidupan udang. Kekeruhan air dapat terjadi karena plankton, suspensi dan partikel tanah atau humus. Khusus pada tambak yang baru dibangun di lahan berkadar pyrite, kekeruhan air tambak banyak di akibatkan oleh suspensi hydroksida besi.
Kekeruhan karena suspensi kaloid tanah/lumpur, lebih-lebih hydroksida besi sangat berbahaya bagi udang karena partikel-partikel tersebut dapat menempel pada insang sehingga insang dapat rusak dan mengakibatkan terganggunya pernapasan udang. Menurut Buwono (1993), air dengan air warna agak kegelapan tersebut (kecerahan berkisar 30-40 cm) membuat udang merasa aman, dan plankton-plankton nabati akan membantu menyerap senyawa-senyawa yang berbahaya bagi udang antara lain amonia secara langsung dan nitrit secara tidak langsung.
Kriteria dan kualitas lahan untuk budidaya tambak udang dapat di lihat pada Tabel 2.10.sebagai berikut;











Tabel 2.10. Kriteria kualitas lahan Budidaya Tambak Udang
No Karateristik dan Kualitas Lahan Tingkat kesesuaian lahan
Sesuai Agak Sesuai Tidak Sesuai
1 Ketersediaan air (w)
Jumlah bulan kering 1 - 3 0,5 - <1;>3-3,5 < 0,5, >3,5
Ch tahunan rata-rata (mm) 2000-3000 1000-2000 <1000;>3000
Pasang Surut air laut (m) 1 - 3 0,5-<1; >3-3,5 < 0,5;>3,5
2 Kondisi tanah (r)
Tekstur tanah L, LP G, GL, GP, GLD P Organik
3 Daya menahan unsur hara (f)
pH tanah 7,5-8,3 6,5-7,5;8,4-8,5 <6,5;>8,5
4 Ketersesiaan unsur hara (n)
Bahan organik (%) 1,6-3,5 1,6-3,5 <1,5 Nitrogen (%) > 0.2 0.16-0.2 <0.16 Fosfor (P) (ppm) > 46 36-46 <36 Kalium (K) (ppm) > 500 350-500 <500 Kalsium (Ca) (ppm) > 1200 700-1200 <700 Magnesium (Mg) (ppm) > 600 300-600 <300 5 Kondisi Air (g) Salinitas (ppt) 15-25 10-15 <10 Suhu (0C) 29 - 30 26-28 ; 31-32 <26 ; >32
pH air 8 - 8.5 8.6-8.7 ; 7.5-7.9 >8.7 ; <7.5 Oksigen terlarut (ppm) 4-7 8-10 ; 3-3.9 <10 Kecerahan (Cm) 30-40 41-60 ; 25-29 <60 6 Keracunan (x) Amoniak (NH3) (ppm) 0 < 1 >1
Nitrit (NO2) (ppm) 0 < 25 >0.25
7 Banjir / genangan Tidak ada rendah Sedang ; tinggi
Sumber: CSR/FAO (1983) dan REPPORT (1983)
Purnomo (1988)., Kisto Mintardjo, dkk., (1994)
Swingle, dalam supomo, (1975)
Van Zuidam, dengan modifikasi dalam Bambang (1991).
Keterangan:
Tekstur: Banjir:
G : geluh Tidak ada: Tidak pernah banjir
GL: geluh berlempung Rendah: rata-rata sekali dalam 10 tahun (<1m) GP: geluh berpasir Sedang: rata-rata sekali dalam 25 tahun (1-1,5m) GLD: Geluh lempung berdebu Tinggi: rata-rata sekali dalam 2-5 tahun (1,5-3m) L: Lempung LP: Lempung Berpasir P: Pasir 2.4. Lahan, Karateristik Lahan, Evaluasi lahan, Kesesuaian Lahan dan Struktur Klasifikasi Kesesuaian Lahan Lahan adalah suatu daerah di permukaan bumi yang dicirikan oleh parameter-parameter biosfer secara vertikal di satu pihak dan parameter-parameter atmosfir, tanah, geologi, hidrologi, populasi tanaman dan binatang serta aktivitas manusia masa lampau dan masa sekarang yang akan mempengaruhi penggunaan lahan oleh manusia, baik masa sekarang maupun masa yang akan datang (Vink, 1983). Lahan sebagai sumberdaya adalah kondisi dan unsur-unsur lahan yang dapat dieksploitasi. Pemanfaatan lahan yang benar adalah mempertimbangkan aspek kelestariannya. Untuk itu, perlu diadakan inventarisasi sumberdaya lahan dengan cara mengumpulkan data dengan: pengklasifikasian, pemetaan, penelitian dan analisisnya. Hasil dari inventarisasi diperoleh kemampuan lahan dan kesesuaian lahan (Karmono, 1998). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, teori yang mendasar adalah lahan merupakan tempat di permukaan bumi yang digunakan untuk segala aktivitas manusia. Kondisi lahan tersebut sangat bervariasi dengan segala sifat dan variabel yang mempengaruhi sehingga dalam pemanfaatan lahan harus disesuaikan dengan jenis penggunaannya agar dapat dimanfaatkan secara optimal sesuai dengan kondisinya. Bentuklahan adalah kenampakan medan yang dibentuk oleh proses-proses alami yang mempunyai susunan tertentu dan julat karateristik fisik dan visual, dimana bentuk itu terbentuk Way, (1973) dalam Zuidam, (1979). Proses geomorfologi yang merupakan proses alami yang berlangsung di permukaan bumi menghasilkan bentuk lahan pada permukaan bumi yang berbeda-beda pula. Perbedaan tersebut dapat diidentifikasi melalui karateristik relief/morfologi, struktur, litologi, dan proses geomorfologi yang berlangsung. Evaluasi lahan pada hakikatnya merupakan proses menduga potensi sumberdaya lahan untuk berbagai penggunaan, dengan kerangka dasar membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sifat sumberdaya yang ada. Hasil dari evaluasi akan memberikan masukan bagi penggunaan lahan yang sesuai dengan pengembangan komoditas tertentu dengan nilai produk yang diharapkan. Pada dasarnya evaluasi sumberdaya lahan membutuhkan keterangan-keterangan yang menyangkut tiga aspek utama, yaitu: lahan, penggunaan lahan, dan aspek ekonomis, evaluasi lahan mempertimbangkan berbagai kemungkinan penggunaan dan pembatasan faktor-faktor dan berusaha menterjemahkan informasi-informasi yang cukup dari suatu lahan ke dalam bentuk-bentuk yang akan dimanfaatkan atau digunakan (Sitorus, 1995). Penilaian terhadap potensi dan kemampuan lahan untuk menentukan dan memperoleh informasi mengenai karateristik dan kualitas lahan merupakan salah satu tahap penting dalam melakukan evaluasi fisik lahan. Banema (1972), menyatakan bahwa kesesuaian lahan untuk satu jenis penggunaan tertentu ditentukan oleh kondisi atau karateristik lahannya. Karateristik lahan menurut Soepraptohardjo (1962), meliputi semua faktor lahan yang dapat diukur dan diestimasi seperti tekstur tanah, struktur tanah, kemiringan lereng, batuan di permukaan dan iklim. Kualitas lahan dibedakan kedalam dua kelompok, yakni kualitas lahan internal dan kualitas lahan eksternal Sys, (1980). Kualitas lahan internal antara lain termasuk ketersediaan air untuk budidaya ikan. Kualitas lahan eksternal terdiri atas faktor klimatologi termasuk dalam hal ini curah hujan dan suhu. Kesesuaian lahan adalah penggambaran tingkat kecocokan sebidang lahan untuk suatu tertentu. Kelas kesesuaian suatu areal dapat berbeda tergantung dari pada tipe penggunaan lahan yang sedang dipertimbangkan (Sitorus, 1995). Selanjutnya Soepraptohardjo (1962), menyatakan bahwa, kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu, sebagai contoh adalah lahan sesuai untuk budidaya ikan. Lebih spesifik lagi kesesuaian lahan tersebut ditinjau dari sifat lingkungan fisiknya, yang terdiri dari tanah dan hidrologi untuk suatu budidaya ikan dengan komoditas tertentu yang produktif. Bentuklahan adalah kenampakan medan yang dibentuk oleh proses-proses alami yang mempunyai susunan tertentu dan julat karateristik fisik dan visual, dimana bentuk itu terbentuk Way, (1973) dalam Zuidam, (1979). Proses geomorfologi yang merupakan proses alami yang berlangsung di permukaan bumi menghasilkan bentuklahan pada permukaan bumi yang berbeda-beda. Perbedaan tersebut dapat diidentifikasi melalui karateristik relief/morfologi,. struktur, litologi, dan proses geomorfologi yang berlangsung. Sutikno (1995), menyatakan bahwa bentuk lahan mempunyai keterkaitan dengan parameter lingkungan fisik yang lain, sehingga bentanglahan di permukaan bumi menjadi suatu daerah yang memiliki karateristik mirip. Selanjutnya Zuidam dan Concelado (1979), menyatakan bentuklahan dapat digunakan sebagai kerangka dasar untuk menyusun satuan lahan. Satuan lahan merupakan rincian bentuklahan dengan memasukkan unsur-unsur lereng, penggunaan lahan atau tanah, sehinggga setiap satuan lahan mempunyai kemiripan bentuklahan, lereng, penggunaan lahan dan tanah untuk menyusun satuan lahan. Struktur klasifikasi kesesuaian lahan menurut FAO (1976) terdiri dari 4 kategori yang merupakan tingkat generalisasi yang bersifat menurun; a. Ordo kesesuaian lahan (Order): menunjukan jenis/macam kesesuaian atau keadaan kesesuaian secara umum, 1. Ordo S: sesuai (suitable) Lahan yang dapat digunakan untuk suatu penggunaan tertentu secara lestari. Keuntungan yang diharapkan dari pemanfaatan lahan ini akan melebihi masukan yang diberikan, 2. Ordo N: tidak sesuai (not suitable) Lahan yang termasuk ordo ini mempunyai pembatas yang sedemikian rupa sehingga mencegah penggunaan secara lestari. b. Kelas kesesuaian lahan (class): menunjukan tingkat kesesuaian lahan dalam ordo. Jumlah tiap kelas setiap ordo tidak terbatas, namun biasanya digunakan tiga kelas dalalm ordo S, dan dua kelas dalam ordo N, 1. Kelas S1: sangat sesuai (higly suitable) Lahan tidak mempunyai pembatas yang berat untuk penggunaan secara lestari atau hanya pembatas yang tidak berarti dan tidak berpengaruh secara nyata terhadap produksi, 2. Kelas S2: cukup sesuai (moderately suitable) Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang agak berat untuk suatu penggunaan yang lestari. Pembatas akan mengurangi produktifitas dan keuntungan, serta meningkatkan masukan (input) yang diperlukan, 3. Kelas S3: sesuai marginal (marginal suitable) Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang sangat berat untuk untuk suatu penggunaan secara lestari. Pembatas akan mengurangi produktivitas atau keuntungan dan perlu meningkatkan input yang diperlukan, 4. Kelas N1: tidak sesuai aktual/ saat ini (currently not suitable) Lahan mempunyai pembatas-pembatas yang sangat berat, tetapi masih memungkinkan untuk diatasi, hanya tidak dapat diperbaiki dengan tingkat pengetahuan sekarang ini dengan biaya rasional, 5. Kelas N2: tidak sesuai permanen (permanent not suitable) Lahan mempunyai pembatas yang sangat berat sehingga tidak memungkinkan untuk digunakan bagi suatu penggunaan lestari, c. Sub-kelas kesesuaian lahan (sub class): menunjukan jenis pembatas atau macam perbaikan yang diperlukan dalam kelas. Tiap kelas, kecuali S1, dapat dibagi menjadi satu atau lebih kelas, tergantung dari jenis pembatas yang ada. d. Satuan kesatuan lahan (unit): menunjukan perbedaan-perbedaan yang kecil yang diperlukan dalam pengelolaan di dalam sub-kelas. Satuan-satuan berbeda dengan satuan lainnya dalam sifat-sifat dan aspek tambahan dari pengelolaan yang diperlukan dan sering merupakan perbedaan detail dari pembatas-pembatasnya. 2.5. Penggunaan Lahan di Wilayah Pesisir Penggunaan lahan (landuse) dan tutupan lahan (landcover) adalah dua istilah yang sering diberi pengertian yang sama, padahal keduanya mempunyai pengertian yang berbeda. Penggunaan lahan (landuse) berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan, sedangkan penutup lahan (landcover) lebih merupakan perwujudan fisik objek-objek yang menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap objek-objek tersebut (Lillesand dan Kiefer, 1990). Permasalahan umum penggunaan lahan yang sering terjadi di wilayah pesisir adalah degradasi habitat, kerusakan ekosistem pesisir, pencemaran, konflik pemanfaatan sumberdaya dan pemanfaatan ruang wilayah pesisir yang tidak efisien. Diantara penyebab timbulnya masalah tersebut adalah karena belum adanya penataan ruang yang komprehensif pada wilayah pesisir dan terjadi penyimpangan-penyimpangan pemanfaatan terhadap tata ruang yang ada (Bengen, 2000). Dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekositem) dan sumberdaya pesisir. Menurut Kartawinata dan Soemohardjo (1985) dalam Bakosurtanal (1995), menyatakan tipe ekosistem wilayah pesisir secara ideal dapat diklasifikasikan sebagai berikut. 3. Wilayah air yang terendam air secara musiman Pesisir ini mencakup ekosistem litoral yang terdiri atas pantai pasir dangkal, pantai berbatu, pantai karang/terumbu karang, pantai lumpur hutan mangrove yang terdiri atas vegetasi terawa payau (salt marsh), hutan rawa air tawar (rapat) dan hutan rawa gambut. 4. Wilayah pesisir tidak terendam Pesisir ini mencakup formasi vegetasi piers-caprea berupa pantai berpasir atau batu karang, formasi vegetasi baringtonia berupa pantai karang atau batu yang bertebing curam hingga mencapai ketinggian 50 m di atas permukaan laut. 2.6. Plankton Plankton merupakan semua jenis organisme air yang bergerak secara pasif atau kemampuan untuk berpindah dari tempatnya berada sangat tergantung oleh gerakan air, yang tidak dapat keluar dari suatu habitat apabila harus melawan arus Bernes, (1982). Termasuk sebagai organisme planktonik adalah fitoplankton, zooplankton dan bakteri (Boyd, 1981). Komposisi plankton baik fitoplankton maupun zooplankton di tambak menurut Sachlan (1980), secara kuantitatif maupun kualitatif sepanjang tahun akan selalu berubah-ubah sesuai dengan berubahnya salinitas air. Biasanya plankton yang terdapat di air tambak dengan salinitas lebih dari 20 permil, sebagian besar akan mirip dengan jenis plankton laut. Poernomo (1980) mengemukakan, bahwa plankton di tambak udang akan mempunyai manfaat yang menguntungkan, namun bila mana berlebihan jumlahnya justru akan menyebabkan kerugian bagi budidaya udang. 2.7. Sikap Sikap seseorang dapat digunakan untuk menduga respon atau perilaku yang akan di ambil oleh orang yang bersangkutan, terhadap suatu masalah atau keadaan yang dihadapkannya. Jadi dengan mengetahui sikap seseorang, akan mendapatkan gambaran kemungkinan perilaku yang timbul dari orang yang bersangkutan (Walgito,1999). Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasanya. Menurut Azwar (1995), sikap seseorang terhadap sesuatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) dalam menaggapi sesuatu objek tersebut. Menurut Ancok (1987), adanya pengetahuan terhadap manfaat suatu hal, menyebabkan orang mempunyai sikap yang positif atau perasaan mendukung terhadap suatu hal tersebut. Sikap positif akan mempengaruhi niat untuk ikut serta dalam kegiatan yang berkaitan dengan hal itu. Beberapa faktor yang mempengaruhi sikap tersebut merupakan satu kesatuan sehingga tidak dapat diambil salah satu aspek saja sebagai pedoman untuk menentukan sikap. Beberapa aspek tersebut dimanifestasikan dalam bentuk pertanyaan yang diajukan kepada masyarakat petani untuk mengetahui sikap masyarakat. 2.8. Landasan Teori Budidaya tambak salah satu kegiatan usaha pemeliharaan/pembesaran udang di tambak mulai dari ukuran benih/benur sampai menjadi ukuran yang layak untuk dikonsumsi. Pemilihan lokasi yang baik dan cocok memegang peranan yang penting dalam keberhasilan budidaya udang. Pemilihan lokasi yang dijadikan untuk usaha budidaya udang ditentukan dengan persyaratan dalam budidaya tambak yaitu topografi lahan, tanah, sumber pengairan, ekosistem (hubungan lingkungan dengan kehidupan flora dan fauna), dan iklim/meteorologi. Faktor yang mempengaruhi dalam budidaya dalam hal ini karateristik lahan dan kualitas lahan sehingga perlu dilakukan inventarisasi terhadap sifat-sifat lahan, baik sifat-sifat tanah maupun sifat-sifat airnya. Selain faktor di atas yang dapat mempengaruhi usaha budidaya tambak udang adalah tingkat pengetahuan tentang penerapan teknologi, dalam pengembangan budidaya tambak. Karateristik suatu lahan dalam usaha budidaya udang sangat berpengaruh dalam dalam hal ini kemiringan lereng, ketersediaan air, kondisi tanah, daya penahan unsur hara, ketersediaan unsur hara, kondisi air, keracunan, banjir. Selain karateristik suatu lahan faktor lain yang berpengaruh adalah kualitas lahan yaitu jumlah bulan kering, curah hujan rata-rata, pasang surut air laut, tekstur tanah, pH tanah, bahan organik, nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, salinitas, suhu, pH air, oksigen terlarut, kecerahan, amoniak.. Kesesuian lahan mempunyai penekanan yang cukup tajam yakni mencari lokasi atau mempelajari lokasi yang memiliki sifat-sifat positif dalam hubungan, tujuan penggunaannya dalam usaha budidaya udang . 2.9. Kerangka Pemikiran Usaha pertambakan merupakan suatu mata rantai yang saling berhubungan dengan karateristik lahan dan kualitas lahan yang mendukung usaha budidaya tambak udang, semakin baik karateristik suatu lahan sehingga menghasilkan kualitas yang baik untuk suatu usaha. Karateristik suatu lahan yang dapat diperhatikan dalam usaha budidaya udang yaitu kemiringan lereng, ketersediaan air, kondisi tanah, daya penahan unsur hara, ketersediaan unsur hara, kondisi air, keracunan, banjir, sedangkan kualitas lahan yang perlu diperhatikan jumlah bulan kering, curah hujan rata-rata, pasang surut air laut, tekstur tanah, pH tanah, bahan organik, nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, besi, belerang salinitas, suhu, pH air, oksigen terlarut, kecerahan, amoniak. Kesesuaian lahan merupakan sistem klasifikasi kecocokan suatu lahan untuk penggunaan tertentu yang dapat dipertimbangkan berdasarkan keadaan saat ini. Penggunaan lahan dapat terarah apabila terdapatnya beberapa informasi yang lengkap tentang kondisi lahan yang ada. Evaluasi Karateristik dan kualitas lahan terhadap kondisi lahan yang telah dibudidayakan maupun yang akan direncanakan untuk usaha budidaya dalam hal ini non tambak yang ada, dengan membadingkan kriteria tambak udang, sehingga dapat meningkatkan produktifitas udang yang baik. Secara sistematis kerangka pemikiran tersebut dapat ditampilkan dalam bentuk diagram alir pada Gambar 2.1. Sebagai berikut, Gambar 2.1. Diagram Alir Kerangka Pemikiran 2.10. Hipotesis Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan tinjauan pustaka maka disusun hipotesis sebagai berikut; 1. diduga tingkat produktifitas budidaya udang di daerah penelitian rendah, 2. diketahui faktor lingkungan yang mempengaruhi usaha budidaya udang di daerah penelitian, 3. berdasarkan karateristik lahan dan kualitas lahan maka tingkat kesesuaian lahan untuk tambak udang dan non tambak di daerah penelitian termasuk pada tingkat kesesuaian S2, S3, N. BAB III CARA PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey yaitu dengan cara melakukan pengamatan, pengukuran klasifikasi, pencatatan, dan evaluasi secara sistematis terhadap fenomena yang terjadi (Nazir, 1988). Daerah penelitian yang menjadi kasus dalam penelitian ini adalah wilayah pesisir di sepanjang Kabupaten Muna Bagian Barat. 3.2. Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam penentuan zonasi kesesuaian lahan dalam penelitian ini dapat di lihat pada Tabel 3.1. sebagai berikut: Tabel 3.1.Bahan yang Digunakan dalam Penilaian Kesesuaian Lahan No Nama Bahan Kegunaan 1 Peta Rupa Bumi Skala 1 : 50.000 Muna bagian barat tahun 1992 dari BAKOSURTANAL dasar pembuatan peta daerah penelitian 2 Peta Penggunaan Lahan skala 1 : 100.000 untuk mengetahui penggunaan lahan 3 Peta Topografi skala 1 : 100.000 untuk mengetahui kelas lereng 4 Citra Landsat ETM Tahun 2006 skala 1 : 250.000 untuk mengetahui bentuk lahan Sedangkan bahan yang digunakan dalam pengamatan kualitas air dan plankton dapat dilihat pada Tabel 3.2. berikut: Tabel 3.2. Bahan yang Digunakan dalam Penilaian Kualitas Air dan Plankton No Nama Bahan Kegunaan 1 Sampel air untuk mengetahui Kualitas air 2 Aquadest pengencer sampel air plankton 3 Lugol asam asetat pengawet plankton 4 H2SO4 pengawet 3.2.2. Alat Alat yang digunakan dalam penentuan zonasi kesesuaian lahan dapat di lihat pada Tabel 3.3. sebagai berikut: Tabel 3.3. Alat yang Digunakan Dalam Penilaian Zonasi Kesesuaian Lahan No Nama Alat Kegunaan 1 Komputer untuk pengolahan data 2 Alat Gambar untuk keperluan penggambaran 3 GPS (Global Posisioning System) untuk mengetahui posisi 4 Altimeter untuk mengukur ketinggian 5 Meteran untuk keperluan pengukuran Alat yang digunakan dalam menentukan kualitas air dan plankton dapat dilihat pada Tabel 3.4. sebagai berikut: Tabel 3.4. Alat yang Digunakan dalam Menentukan Kualitas Air dan Plankton No Nama Alat Kegunaan 1 Sechi disk pengukuran kecerahan air 2 pH meter/kertas lakmus skala 1 : 14 untuk mengukur pH air 3 Termometer untuk mengukur suhu 4 Refraktometer untuk mengukur salinitas 5 Botol/jerken untuk pengambilan sampel air 6 Plankton net no 25 untuk menyaring plankton 7 Mikroskop untuk melihat jenis plankton 8 Termos es tempat penyimpanan sampel air 3.3. Pelaksanaan Penelitian Pelaksanana penelitian secara garis besar di bagi menjadi 3 (tiga) tahapan, yaitu; tahapan persiapan, tahapan kerja lapangan, dan tahapan akhir penelitian. Secara rinci dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Tahapan Persiapan a. studi kepustakaan yang ada hubungannya dengan topik penelitian dan kondisi daerah penelitian; b. melakukan penelitian pendahuluan, untuk mengetahui gambaran umum tentang keadaan daerah penelitian. Penelitian ini dilakukan secara sekilas ke seluruh daerah penelitian dengan mengacu pada peta-peta yang ada; c. menentukan batas satuan lahan berdasarkan Citra Landsat ETM tahun 2006 dan peta rupa bumi, Pembuatan meliputi pengklasifikasian bentuklahan, penggunaan lahan, kemiringan lereng d. menentukan parameter-parameter yang hendak diukur beserta peralatannya, dan menentukan titik-titik pengamatan pada peta rupa bumi. 2. Tahap kerja lapangan Tahapan kegiatan yang dimaksud pengamatan lapangan dan lokasi pengambilan sampel diplotkan pada satuan lahan dan peta rupa bumi. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut a. Penentuan lokasi titik pengamatan tanah didasarkan pada pertimbangan penggunaan lahan pada tiap satuan lahan (purposive sampling). Penentuan titik pengambilan contoh tanah didasarkan pada perbedaan penggunaan lahan yaitu: lahan budidaya, bekas tambak dan non tambak. Pengamatan lapangan dilakukan terhadap sifat-sifat fisik dan kimia tanah dan air yang bersifat kualitatif serta pengambilan sampel tanah dan air untuk di analisis di laboratorium yang bersifat kuantitatif. Adapun urutan pengamatan lapangan sebagai berikut: 1. Tekstur tanah Pengamatan tekstur tanah di lapangan dengan cara memilih tanah pada telunjuk dan ibu jari yang diberi aquadest hingga tanah tidak terlalu basah kemudian di rasakan tingkat kekasarannya, kelicinan, dan kelekataannya. Hasil memilih tersebut dicocokan pada petunjuk yang di buat oleh Suratman, dkk (1991). 2. pH tanah pengamatan pH tanah dapat dilakukan dengan cara mengambil tanah yang dapat dimasukan pada tabung reaksi dan dicampur dengan aquadest (H2O) dan KCl 1 N dengan perbandingan 1 tanah berbanding 2,5 larutan, sehingga diketahui pH tanah aktual dan potensialnya. Hasil dari pencampuran itu didiamkan sebentar kemudian diukur dengan pH stik yang dicocokan dengan skala pengukuran warna. b. Analisis Laboratorium 1. Tekstur tanah Analisis tekstur tanah di laboratorium dilakukan dengan cara pemisahan bahan-bahan pengikat butir tanah, penyaringan dan pemipetan. Hasil pengukuran diklasifikasikan berdasarkan segitiga tekstur tanah USDA (United States Departement of Agriculture) 2. pH tanah Analisis pH tanah di laboratorium dilakukan dengan cara elektrometris yaitu mencampurkan tanah dan H2O pada botol pengocok dengan perbandingan 1 : 2,5. Pengocokan dilakukan selalma 2 jam, lalu didiamkan selama semalam. Keesokan harinya digojok kembali selama 0,5 jam, kemudian diukur dengan menggunakan pH-meter. 3. Kadar bahan organik Analisis kadar bahan organik di laboratorium dilakukan dengan cara walky dan Black dengan neraca analisis ketelitian hingga 0,1 mg, 4. Analisis kadar nitrogen total Analisis kadar nitrogen total di laboratorium dilakukan dengan cara penghancuran (destruksi), destilasi dan titrasi. 5. Kadar Kalium Analisis kadar Kalium di laboratorium dilakukan dengan cara mengestrak tanah dengan menggunakan larutan amonium asetat dan diukur dengan menggunakan alat fotometer nyala (flame photometre). Perhitungan dilakukan dengan cara membuat kurva standar sebagai pembanding. 6. Kadar Kalsium Analisis kadar Kalsium di laboratorium dilakukan dengan cara volumetric, yaitu titrasi larutan menggunakan Na-EDTA hingga warna berubah dari merah/kuning menjadi ungu. 7. Kadar Magnesium Analisis kadar magnesium di laboratorium dengan cara volumetric seperti penentuan kadar kalsium yaitu dititrasi menggunakan Na-EDTA hingga warna berubah dari coklat/merah menjadi biru. 3. Tehnik pengambilan sampel air dilakukan secara purposive sampling. Menurut Marzuki (2002), Purposive sampling adalah tehnik penentuan sampel yang didasarkan atas, ciri-ciri atau sifat yang dirasa mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri atau sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. penelitian ini, sampel air didasarkan pada penggunaan lahan yaitu lokasi tambak, bekas tambak dan non tambak. Adapun urutan pengamatan kualitas air di lapangan dan dilaboratorium; 1. Salinitas Pengamatan salinitas air dilakukan dilapangan dengan menggunakan refraktometer atau salinometer. Pengukuran dilakukan dengan meneteskan sebahagian (satu tetes dengan menggunakan pipet) kemudian diarahkan pada cahaya yang tidak langsung dengan sinar matahari, sehingga dapat dilihat nilai kosentrasi klorida pada pengukuran alat tersebut. Skala pengukuran dengan menggunakan satuan ppm (part per million) 2. Kecerahan Pengukuran kecerahan sering dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut secchi disc (keping secchi). Dengan memasukan piringan kedalam air hingga tidak terlihat warnanya dengan tali tambang, kemudian diukur dengan menggunakan meter atau centimeter. 3. Suhu Pengukuran suhu yang dilakukan dengan menggunakan thermometer Hg ( 0C) sampel air diambil dengan menggunakan tabung reaksi dan selanjutnya thermometer dimasukan kedalam tabung reaksi dengan mencatat tingkat perubahan suhu perairan. 4. pH air Pengamatan pH air dilakukan dilapangan dengan menggunakan pH meter skala 0 – 14. Air yang diambil dengan menggunakan tabung reaksi kemudian dimasukan pH meter untuk melihat tingkat kandungan asam- basa perairan. 8. Kadar Amoniak/nitrit Sampel air amoniak dan nitrit dilakukan pengambilan sampel sebanyak 250 ml selanjutnya di tambahkan dengan pengawet yaitu 10 mg HgCl2 dan disimpan pada suhu 2o dan selanjutnya di analisis di laboratorium dilakukan dengan cara colorimetric dan alat yang digunkaan adalah spectrophotometri. Cara ini berkaitan dengan penyerapan suatu warna oleh panjang gelombang tertentu. Perhitungan berdasarkan pada perbandingan kurva standar. 5. Kadar Oksigen Terlarut (DO) Pengambilan sampel air untuk analisis oksigen terlarut di tuangkan dengan hati-hati untuk mencegah masuknya gelembung udara dengan volume botol 250-300 ml sebagai bahan pengawet digunakan larutan H2SO4. Analisis kadar oksigen terlarut di laboratorium dilakukan dengan cara volumetrik dengan menggunakan botol winkler. Cara volumetric atau titrasi ini dengan menggunakan larutan tiosulfat sebagai penetrasinya. Perhitungan kadar DO dapat diperoleh dengan rumus: DO = a x N x 8000 V-2 Keterangan; DO = kadar oksigen terlarut a = volume titran natriumtiosulfat (ml) V = volume botol winkler N = normality larutan natriumtiosulfat (ek/l) N = 20/a x N (terbaca pada botol) 6. Bahaya banjir Pengamatan bahaya banjir dapat dilakukan dengan cara melihat tanda-tanda yang ditinggalkan pada dinding rumah dan sampah-sampah yang tertambat di pohon pada tanggul (tanggul alam maupun tanggul buatan) serta melalui wawancara dengan penduduk setempat. Skala pengukuran yang diperlakukan adalah durasi banjir, frekensi banjir, dan ketinggian banjir. 7. Sampel plankton Teknik pengambilan sampel plankton dilakukan di daerah yang dijadikan tambak, bekas tambak dan non tambak dengan menggunakan jergen dengan volume 40 liter, disaring dengan menggunakan planktonnet no 25. Sampel planakton dilakukan dengan menggunakan penyariangan air dengan plankton net ukuran no 25, air yang diambil dengan menggunakan jerken sebanyak 40 liter dan selanjutnya dipadatkan menjadi 30 ml dan dimasukan ke dalam botol sampel, diawetkan dengan lugol asam asetat sebanyak 3-4 tetes. Selanjutnya dianalisis di laboratorium untuk menghitung kepadatan plankton dan dianalisis di laboratorium. 3. Sampel sosial dalam pelaksanaannnya dengan tehnik wawancara dengan menggunakan kwisioner. Tehnik yang digunakan secara purposive sampling yaitu pengambilan sampel berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. 4. Tahap akhir penelitian a. setelah data terkumpul, dilakukan analisis data primer secara kuantitaif. Data primer dalam penelitian ini adalah Tanah meliputi tekstur tanah, pH tanah, bahan organik, nitrogen, fosfor, kalium, magnesium. Air meliputi salinitas, suhu, pH air, oksigen terlarut, kecerahan, amoniak, nitrit, besi dan belerang dan plankton. Data iklim, topografi, dan pasang surut. b. langkah selanjutnya adalah melakukan klasifikasi skoring kesesuaian lahan untuk budidaya udang yakni Sesuai, Agak sesuai dan Tidak Sesuai, metode penilaian zonasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara skoring. Penilaian zonasi kesesuaian lahan yang dikemukakan berdasarkan kriteria kesesuain lahan untuk tambak tradisional yang dikemukakan oleh Mardi Wibowo dan Lestorio Widodo (2000) yang dimodifikasi, dengan pertimbangan kemudahan dalam pelaksanaan penelitian di lapangan dan sesuai dengan kondisi setempat; c. penulisan laporan penelitian dalam bentuk tesis. 3.4. Variabel Penelitian Guna menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini maka variabel yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 3.5 sebagai berikut; Tabel 3.5. Variabel Rencana Penelitian No Variabel Sub Variabel Sumber Analisis 1 kondisi tanah Tekstur pH tanah bahan organik; nitrogen fosfor kalium kalsium magnesium primer/ lapangan uji laboratorium 2 kondisi air salinitas suhu pH air oksigen terlarut amoniak nitrit nitrat primel/lapangan uji laboratorium 3 plankton kelimpahan jenis primer/lapangan uji laboratorium 4 iklim curah hujan pasut curah hujan rata-rata sekunder - 5 topografi kemiringan lereng bentuk lahan penggunaan lahan hidrologi peta - 6 sosial ekonomi pendidikan pendapatan jenis pekerjaan primer/lapangan - 3.5. Analisa Data Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk menjelaskan parameter yang diukur, sedangkan untuk mengetahui variabel-variabel penelitian dilakukan dengan uji laboratorium dan pengukuran lapangan kemudian dilakukan analisis metode skoring. Metode skoring untuk tiap variabel di dasarkan pengaruh (daya dukung dan kendala) terhadap suatu kegiatan. Semakin besar daya dukung dan semakin kecil kendala variabel tersebut terhadap suatu kegiatan semakin besar skor yang dimilikinya Zonasi kesesuaian lahan dinilai dalam penelitian ini adalah Kategori Sesuai, Agak Sesuai, dan Tidak Sesuai. Pengukuran kesesuaian lahan dengan membandingkan dengan kriteria yang telah ada dengan hasil yang diperoleh dilapangan dan laboratorium. Penilaian dan zonasi kesesuaian lahan dilakukan dengan cara skoring dari variabel kesesuaian lahan untuk perikanan tambak udang pada setiap satuan lahan dengan persyaratan penilaiannya. Kriteria kelas kesesuaian lahan untuk perikanan darat dalam penelitian ini diambil dari beberapa sumberanatara lain. Pedoman penilaian zonasi kesesuaian lahan tambak tradisional dengan mengacu yang dikemukakan Mardi Wibowo dan Lestario Widodo (2000). Kriteria persyaratan ketersediaan air (iklim) dari CSR/FAO, 1983 dan REPORT, 1983. Untuk menentukan iklim yang terdapat pada daerah penelitian maka dilakukan pendekatan dengan perhitungan berdasarkan data curah hujan yang ada selama 10 tahun, dengan menggunakan metode Schmidt-Ferguson. Metode Schmidt-ferguson mendasarkan pada rasio (perbandingan) antar bulan basah (BB) dan bulan kering (BK). Dasar penggolongan bulan basah dan bulan kering menggunakan sistem Mohr yaitu :  Bulan basah yaitu, suatu bulan dengan curah hujannya lebih besar dari 100 mm.  Bulan kering yaitu, suatu bulan dengan curah hujannnya lebih kecil dari 60 mm. Adanya bulan basah dan bulan kering tiap tahun dihitung kemudian dijumlahkan untuk beberapa tahun, kemudian dirata-ratakan. Dasar penggolongan iklim adalah rasio dari rerata bulan kering dengan rerata bulan basah dan diberi simbol nilai Q. Q = A : 0 ≤ Q < 0, 143 = sangat basah B : 0, 143 ≤ Q < 0, 333 = basah C : 0, 333 ≤ Q < 0, 600 = agak basah D : 0, 600 ≤ Q < 1, 000 = sedang E : 1, 000 ≤ Q < 1, 670 = agak kering F : 1, 670 ≤ Q < 3, 000 = kering G : 3, 000 ≤ Q < 7, 000 = sangat kering H : 7, 000 ≤ Q = luar biasa kering Tabel 3.6. Nilai Skor Variabel Kesesuaian Lahan Tambak Tradisional No Variabel Skor 1 Bentuklahan; a. dataran pasang surut, dataran fluvio marine, dataran banjir b. rawa belakang c. beting pantai/gisik, dataran aluvial 3 2 1 2 Kemiringan lereng a. 0 -2 % b. 3 – 5 % c. > 5 %
3
2
1
3
Penggunaan lahan;
a. laut, semak belukar, pemukiman, kuburan
b. hutan, sawah, tegalan, ladang, dan lahan kosong
c. rawa
3
2

1
4 Hidrologi (jarak sumber air payau ke darat)
a. 0 – 1.500 m
b. 1500-3.000 m
c. >3000 m
3
2
1

Zonasi Kesuaian Lahan Jumlah Skor
1
2
3 Tidak Sesuai (N)
Agak Sesuai (S2)
Sesuai (S1) 0 – 4
5 – 8
9 - 12
Sumber : Mardi Wibowo dan Lestario Widodo (2000) yang dimodifikasi
Pedoman penilaian karateristik dan kualitas lahan mengacu pada persyaratan CSR/FAO (1983) dan REPPORT (1983), Purnomo Sumber: Purnomo (1988)., Kisto Mintardjo, dkk., (1994) Swingle, dalam supomo, (1975) Van Zuidam, dengan modifikasi dalam Bambang (1991). adapun kriteria dan kalasifikasi lahan dapat ditampilkan pada Tabel 3.7 sebagai berikut



Tabel 3.7. Kriteria dan Klasifikasi Kesesuaian Lahan Untuk Tambak Udang Windu
No Karateristik dan Kualitas Lahan Tingkat kesesuaian lahan
Sesuai Agak Sesuai Tidak Sesuai
1 Ketersediaan air
Jumlah bulan kering 1 - 3 0,5 - <1 ; >3-3,5 < 0,5, >3,5
Ch tahunan rata-rata (mm) 2000-3000 1000 - 2000 <1000;>3000
Pasang Surut air laut (m) 1 - 3 0,5-<1; >3-3,5 < 0,5;>3,5
2 Kondisi tanah
Tekstur tanah L, LP G, GL, GP, GLD P Organik
3 Daya menahan unsur hara
pH tanah 7,5-8,3 6,5-7,5 ; 8,4-8,5 <6,5;>8,5
4 Ketersediaan unsur hara
Bahan organik (%) 1,6-3,5 1,6-3,5 <1,5 Nitrogen (%) > 0.2 0.16-0.2 <0.16 Fosfor (P) (ppm) > 46 36-46 <36 Kalium (K) (ppm) > 500 350-500 <500 Kalsium (Ca) (ppm) > 1200 700-1200 <700 Magnesium (Mg) (ppm) > 600 300-600 <300 5 Kondisi Air Salinitas (ppt) 15-25 10-15 <10 Suhu (0C) 29 - 30 26-28 ; 31-32 <26 ; >32
pH air 8 - 8.5 8.6-8.7 ; 7.5-7.9 >8.7 ; <7.5 Oksigen terlarut (ppm) 4-7 8-10 ; 3-3.9 <10 Kecerahan (Cm) 30-40 41-60 ; 25-29 <60 6 Keracunan Amoniak (NH3) (ppm) 0 < 1 >1
Nitrit (NO2) (ppm) 0 < 25 >0.25
7 Banjir / genangan Tidak ada Rendah Sedang ; tinggi
Sumber:
CSR/FAO (1983) dan REPPORT (1983)
Purnomo (1988)., Kisto Mintardjo, dkk., (1994)
Swingle, dalam supomo, (1975)
Van Zuidam, dengan modifikasi dalam Bambang (1991).
Keterangan:
Tekstur: Banjir:
G : geluh Tidak ada: Tidak pernah banjir
GL: geluh berlempung Rendah: rata-rata sekali dalam 10 tahun (<1m)
GP: geluh berpasir Sedang: rata-rata sekali dalam 25 tahun (1-1,5m)
GLD: Geluh lempung berdebu Tinggi: rata-rata sekali dalam 2-5 tahun (1,5-3m)
L: Lempung
LP: Lempung Berpasir
P: Pasir

Untuk kelimpahan plankton dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Koesoebiono (1986), sebagai berikut

Keterangan:
N = Jumlah total individu per liter
O1 = Luas gelap penutup
Op = Jumlah satuan lapangan pandang (mm2)
Vr = Volume air yang disaring dengan saringan dalam bucket (ml)
Vo = Volume air yang tersaring dengan saringan plankton net (L)
n = Jumlah plankton pada seluruh lapangan pandang
p = Jumlah lapangan pandang yang diamati










3.6. Jadual Kegiatan Penelitian
Adapun rancangan jadual kegiatan penelitian seperti pada Tabel 3.8
Tabel 3.8. Jadual Penelitian
No
Kegiatan Waktu Pelaksanaan
2007 2008
Okto Nov Des Jan Feb Mart April Mei jun Juli
1 Pembuatan proposal
2 Ujian proposal
3 Overlay peta
3 Pelaksanaan lapangan
4 Analisis data
5 Pembuatan laporan / penyusunan tesis
6 Ujian tesis


DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Mujiman, S. Rachmatun Suyanto, 1993.  Budidaya Udang Windu: Penebar Swadaya. Jakarta.
Anonim 1989.  Kesuburan Tanah. Penerbit Gramedia. Jakarta
Anonim, 2001. Laporan Akhir Studi Potensi Perikanan Pesisir Kabupaten Purwerejo, Laporan Penelitian, Kerjasama Badan Perencanaan Daerah Purworejo dengan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.  Yogyakarta
Anonim, 2006.  Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan.  Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Muna.
Ancok. D. 1997. Tehnik Penyusun Skala Pengukur.  Pusat Penelitian Kependudukan.  Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
APHA.; AWWA; and WPCF. 1979.  Standart Methods 5 th Edition. APHA. Washinton
Azwar. S. 1995,  Sikap Manusia.  Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Bambang. 1991.  Tambak Air Payau.  Penerbit Kanisius.  Yogyakarta
Bakosurtanal. 1995.  Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan Marine Sulawesi Selatan.  Tim Kerja Survey Dasar Sumberdaya alam laut.  Proyek Pembinaan Udara dan Dirgantara Bakosurtanal.  Bakosurtanal.  Bogor.
Banema  J.1972.  Land Evaluation for Agricultural Land Use Planning An Ecological Methodology.  Departmen of Soil Science and Geology, Agricultural University. Wageningen.
Barnes, R.S.K. 1982.  The Unity and Diversity of Aquatic System.  In R.S.K.  Barnes and K.H. Mann (ed).  Fundamental of Aquatic Ecosystem.  Blackwel Scientific Publication. London.
Buwono, I.D.  1993.  Tambak Udang Windu Sistem Pengelolaan Berpola Intensif, Kanisius. Yogyakarta
Bengen G. 2000.  Tehnik Pengambilan contoh dan Analisis Data Biofisik Sumberdaya Pesisir.  Synopsis PKSPL-IPB. Bogor 
------------ 2004.  Laporan Jumlah Penduduk Tahunan.  Badan Statistik Kabupaten Muna
Boyd, C. E.  1981.  Water Quality in Warmwater Fish Ponds. Aubrn University.  Alabama. 561 pp
              ,1991. Petunjuk Tekhnis Pengelolaan Peranan Laut dan Pantai Bagi Pembangunan Perikanan.  Puslitbang Perikanan Departermen Pertanian, Kajarta.
Danakusumah. E.  dan S. Putro, 2003. Pedoman Investasi Komoditas Udang di Indonesia .  Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta.
Denila L., 1977, Conditioningof Fish Ponds, Reading on Aquaculture Practices. SEAFDEC, Iloilo, Philippines.
--------, 2001. Laporan Akhir Studi Potensi Perikanan Pesisir Kabupaten Purwerejo, Laporan Penelitian, Kerjasama Badan Perencanaan Daerah Purworejo dengan Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada.  Yogyakarta.
--------, 2006.  Laporan Tahunan Dinas Perikanan dan Kelautan.  Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Muna
FAO. 1976. A. Framework For Land Evaluation.  FAO. Soil Buletin 32, Soil Resaurces Management Conservation Service, Lang And Water Development Division.
G. Alaerts, Sri Sumestri Santika. 1987.  Metode Penelitian Air.  Usaha Nasional. Surabaya.
Idris. M. Muskita.H.W. Nurdin.A.R. 2003.  Diktat Kuliah Manajemen Kualitas Air. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo. Kendari

Kamiso, H.N. 1993. Hasil-Hasil Penelitian dan Proyek Penelitian Bioteknologi dalam Mendukung Program Pengembangan Budidaya Perairan, Laporan Penelitian, Forum Komunikasi Hasil Penelitian Bidang Bioteknologi Cisarua. Bogor.

Kisto Mintardjo, Anto Sunaryanto, Utamingsih dan Hermania. 1984 Persayaratan Tanah dan Air Untuk Tambak, Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian 
Koesoebiono, 1987.  Metode dan Tehnik Analisis Biologi Perairan.  Makalah Kursus AMDAL.  PPLH-LP, IPB, Bogor.  33 Hal.
Khairuman dan Amri K 2003. Budidaya Udang Galah. Penerbit AgroMedia Pustaka, Tanggerang.
Liviawaty, E dan Afriyanto,E. 1991.  Tehnik Pembuatan Tambak. Penerbit KANISIUS, Yogyakarta
Lillesand, T.M. dan F.W. Kiefer, 1990.  Penginderaan Jauh dan Interprestasi Citra.  Alih Bahasa: R. Dulbahri.  Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Tzu-Rung,Li dan Sudiman, 1988, Pengantar Budidaya Udang Windu (Panaeus monodon), Bag.I. Pembesaran di Tambak, Agriculture Tehnical Mission, R.O.C, Surabaya.
Marzuki. 2002. Metodologi Riset. PT. Prastia Widya Pratama, Yogyakarta
Mardi Wibowo dan Lestario Widodo, 2000.   Zonasi Penggunaan Lahan Di Lingkungan Pantai.  Makalah:  Seminar Nasional Peranan Teknologi Lingkungan Dalam Pengembangan Industri dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Berkelanjutan.  BPPT Jakarta 11 – 12 Juli 2000
Mintardjo, K. Sunaryanto, A. Herminingsih dan Utaminingsih.  1984.  Pedoman Budidaya Tambak.  Direktorat  Jendral Perikanan
Nazir. M. 1988.  Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta
Nurjana, M.L.  1999.  Kebijakan Pengembangan Perikanan Budidaya Pesisir Mendukung Gema Protekan 2003.  Disajikan pada Rapat Teknis Balai Perikanan Pantai, Wisma Kinasih Gemilang Bogor, 16-17 Maret 1999.  Direktorat Jendral Perikanan, Jakarta
Poernomo, A. 1988,  Pembuatan Tambak Udang di Indonesia.  Balai Penelitian Perikanan Budidaya Pantai.  Departemen Pertanian-Badan Penelitian dan Pengembangan Perttanian. Maros.
Poernomo, Alie,  1982..  Budidaya Udang di Tambak.  Lembaga Oseanologi Nasional (LON) – LIPI Jakarta.
Sachlan 1980. Plantonologi  Fakultas Perikanan dan Biologi UNDIP. Semarang
Sitorus, S.R.P. 1995 Evaluasi Sumberdaya Lahan, Tarsito Bandung.
Suratman Woro S. dan Jamulya, 1991.  Petunjuk Pemberian Tanah di lapangan.  Yogyakarta: Fakultas Geografi, UGM.
Sutikno 1995. Geomorfologi dan Prospeknya di Indonesia.  Pidato Pengukuhuan (Jabatan Guru Besar) Pada Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Soepraptohardjo,M.1962.  Suatu Cara Penelitian Kemampuan Wilayah.  Lembaga Penelitian Tanah, Bogor
Soerjani. M., Rofiq Ahmad., Rozy Munir, 1987.  Lingkungan: Sumberdaya Alam Dan Kependudukan Dalam Pembangunan. UI-PRESS. Jakarta.
Soetomo Moch. H.A. 1990.  Tehnik Budidaya Udang Windu.  Bandung, Sinar Baru.
Sys, 1980. Land Evaluation. International Taraining Centre For Post Graduate On Soil Science.  State Univsity Of Gent, Belgium
Undang-Undang Republik Indonesia No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Vilbaluz, D.K., 1953, Fish Farming in The Philippines, Bookman, Manila
Vink, A.P.A. (1960).  Quantitative aspectlegal of land classification.  Trans. 7 th Intern. Congr. Soil Sci., Madison, Wisconsin, USA
Walgito. B. 1999.  Psikologi Sosial. Penerbit INDI, Yogyakarta.
Zuidam, R. A Van and F1. Van Zuidam-Cancaledo, 1979.  Terrain Analysis and Classification Using Aerial Photograph: A Geomorphology Approach, ITC, Enchede.