BUDI DAYA
IKAN PATIN
Heru Susanto
Khairul Amri
Penebar Swadaya
PRAKATA
Ikan patin belum diusahakan secara optimal. Masih relatif sedikit orang yang mengupayakan pembenihannya dari hatchery yang modern atau dari Unit Pembenihan Rakyat (UPR) yang ada. Keberadaannya masih mengandalkan benih hasil tangkapan dari alam.
Hal yang menarik lagi, umumnya orang membesarkan patin di luar Pulau Jawa, sedangkan unit pembenihan rakyat terdapat di Pulau Jawa. Selama ini belum ada upaya yang dapat memadukan pembenihan dengan usaha pembesaran ikan ini. Dalam rangka pemerataan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia, budi daya ikan patin bisa dijadikan alternatif komoditi di bidang agroindustri yang cukup berprospek bila dikembangkan. Selanjutnya, diperlukan upaya untuk memroduksi ikan patin secara budi daya (culture) dan bukan secara penangkapan (capture).
Buku ini memberi alternatif pemecahan dalam rangka memadukan kegiatan produksi benih dan kegiatan lain yang memanfaatkan produksi tersebut dalam bentuk pembesaran ikan patin. Beberapa alternatif tempat pembesaran ikan patin dimuat dalam buku ini. Dengan demikian, pembaca yang berminat membudidayakan ikan patin tidak terpaku dengan salah satu media budi daya, misalnya kolam.
Pada kesempatan ini penulis membukukan ikan patin (Pangasius pangasius) karena penulis menganggap ikan itu asli Indonesia dan mempunyai prospek yang cerah untuk dikembangkan sebagai komoditi budi daya. Struktur dagingnya yang empuk serta rasanya yang gurih dan lezat membuat patin berpotensi untuk dikembangkan sebagai komoditas lokal sejajar dengan lele bangkok (Pangasius sutchi) yang beberapa waktu lalu pernah populer. Bahkan benih ikan patin pun bisa dipajang di akuarium pada waktu masih kecil, sementara yang berukuran dewasa cukup menarik untuk mengisi kolam-kolam pemancingan yang hingga kini juga berfungsi ganda sebagai tempat penjualan ikan konsumsi.
Akhirnya penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyelesaian buku ini, terutama rekan-rekan di jajaran Penebar Swadaya. Demi kesempurnaan isi buku ini, segala saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan.
Jakarta, September 1996
Penulis
DAFTAR ISI
PRAKAIA ................................................................................. 1. PENDAHULUAN................................................................
2. MENGENAL IKAN PATIN.................................................
A. Sistematika dan Ciri Morfologis ..................................
B. Sifat-sifat Biologis ........................................................
C. Kerabat Ikan Patin.......................................................
3. PEMIJAHAN IKAN PATIN SECARA KAWIN SUNTIK......
A. Penyiapan Induk..........................................................
B. Pemeliharaan Calon Induk..........................................
C. Pemilihan Induk Matang Kelamin ...............................
D. Musim Pemijahan ........................................................
E. Penghitungan Berat Donor..........................................
F Pengambilan Kelenjar Hipofise....................................
G. Pembuatan Ekstrak......................................................
H. Penyuntikan .................................................................
I. Pemijahan....................................................................
J. Persiapan Bak Penetasan ............................................
K. Penetasan.....................................................................
L. Perawatan Larva ........................................... M. Pendederan Benih.........................................
4. PENGANGKUTAN BENIH ..................................
5. PEMBESARAN IKAN PATIN DI KOLAM............
A. Pembesaran Ikan Patin Sistem Monokultur „
B. Pembesaran Ikan Patin Sistem Polikultur......
6. PEMBESARAN IKAN PATIN DI JALA APUNG.,
A. Lokasi Pemeliharaan .....................................
B. Penggunaan Jala Apung................................
C. Kondisi Perairan ............................................
D. Kualitas Air ...................................................
E. Proses Rsmbesaran.......................................
7. PEMBESARAN IKAN PATIN SISTEM PEN.......
A. Pemilihan Lokasi..........................................
B. Kualitas Air ...................................................
C. Penerapan Sistem Pen .................................
D. Penebaran Benih..........................................
E. Pemberian Pakan..........................................
E Pengontrolan.................................................
G. Pemanenan ...................................................
8. PEMBESARAN IKAN PATIN DI KARAMBA......
A. Pemilihan Lokasi..........................................
B. Penebaran Benih ..........................................
C. Pemberian Pakan Tambahan........................
D. Pengontrolan .................................................
E. Pemanenan...................................................
9. PENGENDAUAN HAMA DAN PENYAKIT .......
A. Hama ............................................................
B. Penyakit ........................................................
DAFTARPUSTAKA...................................................
I
PENDAHULUAN
Dalam dunia perikanan dan juga dunia jasaboga, ikan patin dikenal sebagai komoditi yang berprospek cerah. Rasa dagingnya yang lezat dan gurih mengakibatkan harga jualnya tinggi. Hal ini lebih dulu menarik minat dan
Ikan patin. Terkenal cukup responsive terhadap pemberian makanan tambahan
Sehingga memungkinkan ukuran tubuhnya cepat besar
perhatian para pengusaha restoran dibandingkan para cerdik pandai untuk memberdayakan ikan asli perairan Indonesia ini.
Selain rasa dagingnya yang lezat, ikan patin memiliki beberapa kelebihan lain misalnya ukuran per individunya besar. Di alam, panjangnya bisa mencapai 1,2 m. Meskipun ukuran maksimal tubuh ini tidak begitu menarik kalangan pengusaha karena harus menyediakan piring dan meja raksasa, tetapi setidaknya hal ini dapat diasumsikan bahwa ikan patin termasuk rakus terhadap makanan. Pada pembudidayaan, dalam lisia enam bulan ikan patin bisa mencapai panjang 35 - 40 cm. Ikan ini cukup
induk patin. Pemilihan induk yang tepat sangat menunjang
keberhasilan usaha pembenihan ikan patin
responsif terhadap pemberian makanan tambahan. Sebagai keluarga Pangasidae, ikan ini tidak membutuhkan perairan yang mengalir untuk "membongsorkan" tubuhnya. Pada perairan yang tidak mengalir dengan kandungan oksigen rendah pun sudah rnemenuhi syarat untuk membesarkan ikan ini.
Ada anggapan bahwa membudidayakan ikan patin masih dianggap sebagai kegiatan yang kurang atau bahkan tidak menguntungkan, mengingat di beberapa perairan Sumatera dan Kalimantan ikan ini masih dengan mudah ditemukan. Anggapan ini sungguh keliru karena keberadaan ikan yang terkenal lezat dagingnya tidak selamanya bisa dipertahankan di alam. Hal ini tentu saja masuk akal karena banyak pihak merasa berkepentingan untuk memanfaatkan sumber daya alam, termasuk menggunakan untuk hal-hal yang kontraproduktif, misalnya memanfaatkan salah satu sumber daya alam dengan tidak memperhatikan sumber daya alam yang lain. Dengan demikian, apabila suatu saat lingkungan hidup patin terancam oleh pemanfaatan sumber daya alam yang kontraproduktif maka pembudidayaan patin merupakan satu-satunya usaha untuk melestarikan dan mengoptimalkan sumber daya ikan patin.
Ikan patin cukup potensial dibudidayakan di berbagai media pemeliharaan yang berbeda, sebagaimana jenis ikan air tawar lainnya seperti mas, tawes, dan lele. Media pemeliharaan kolam, karamba, bahkan jala apung dapat digunakan untuk memelihara ikan patin.
Budi daya ikan patin meliputi beberapa kegiatan. Secara garis besar, kegiatan ini dibagi menjadi dua, yaitu kegiatan pembenihan dan kegiatan pembesaran. Kedua jenis kegiatan ini
umumnya sama-sama belum populer dilakukan oleh masyarakat karena umumnya masyarakat masih mengandalkan kegiatan penangkapan di alam (sungai, situ, waduk, dan lain-lain) untuk memenuhi kebutuhan patin. Kegiatan pembenihan umumnya masih dilakukan di balai benih ikan milik pemerintah dan jarang dilakukan oleh masyarakat.
Kegiatan pembenihan merupakan upaya untuk menghasilkan benih pada ukuran tertentu. Produk akhirnya berupa benih berukuran tertentu, yang umumnya adalah benih selepas masa pendederan. Oleh karena itu, secara garis besar usaha pembenihan ikan patin ini meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut.
1. Pemilihan calon induk siap pijah.
2. Persiapan hormon perangsang/kelenjar hipofise dari ikan donor, yaitu ikan mas.
3. Kawin suntik (induce breeding).
4. Pengurutan (striping).
5. Penetasan telur.
6. Perawatan larva.
7. Pemindahan larva.
8. Pendederan.
9. Pemanenan.
Pembesaran ikan merupakan kegiatan untuk menghasilkan ikan yang siap dikonsumsi. Produk akhirnya berupa ikan konsumsi, meskipun ukuran ikan yang dikonsumsi ini bisa saja berbeda sesuai dengan kebutuhan pasar. Kegiatan dalam pembesaran ikan patin biasanya meliputi hal-hal berikut.
1. Persiapan media pembesaran yang akan digunakan.
2. Penebaran benih.
3. Pemberian makan.
4. Perawatan ikan agar terhindar dari hama dan penyakit ikan.
5. Pemanenan.
Media pembesaran ikan patin berbeda-beda sehingga kegiatan persiapan media pembesaran sangat tergantung pada jenis media yang hendak dimanfaatkan. Di dalam buku ini akan diuraikan sistem pembesaran ikan patin di dalam berbagai media, antara lain di kolam, jala apung, pen, maupun karamba.
II
MENGENAL IKAN PATIN
Untuk mengenal lebih lanjut tentang ikan patin, berikut ini akan diulas sistematika dan ciri morfologis, sifat biologis, dan ikan-ikan lain yang masih sekerabat dengan patin.
A. Sistematika dan Ciri Morfologis
Sistematika ikan patin adalah sebagai berikut.
Ordo : Ostariophysi Sub-ordo : Siluroidae
Famili : pangasidae
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius pangasius Ham. Buch
Nama Inggris : catfish
Nama local : Ikan patin
Ikan patin memiliki badan memanjang berwarna putih seperti perak dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya bisa mencapai 120 cm, suatu ukuran yang cukup besar untuk ukuran ikan air tawar domestik. Kepala patin relatif kecil dengan mulut terletak di ujung kepala agak di sebelah bawah. Hal ini merupakan ciri khas golongan catfish. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba.
Sirip punggung memiliki sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi patil yang bergerigi dan besar di sebelah belakangnya. Sementara itu, jari-jari lunak sirip punggung terdapat enam atau tujuh buah. Pada punggungnya terdapat sirip lemak yang berukuran kecil sekali. Adapun sirip ekornya membentuk cagak dan bentuknya simetris. Ikan patin tidak memiliki sisik. Sirip duburnya panjang, terdiri dari 30 - 33 jari-jari lunak, sedangkan sirip perutnya memiliki enam jari-jari lunak. Sirip dada memiliki 12 - 13 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang berubah menjadi senjata yang dikenal sebagai patil.
B. Sifat-sifat Biologis
Ikan patin bersifat nokturnal (melakukan aktivitas di malam hari) sebagaimana umumnya ikan catfish lainnya. Selain itu, patin suka bersembunyi di dalam liang-liang di tepi sungai habitat hidupnya.
Hal yang membedakan patin dengan ikan catfish pada umumnya yaitu sifat patin yang termasuk omnivora atau golongan ikan pemakan segala. Di alam, makanan ikan ini antara lain ikan-ikan kecil lainnya, cacing, detritus, serangga, biji-bijian, udang-udang kecil, dan moluska.
Ikan patin termasuk ikan dasar. Hal ini bisa dilihat dari bentuk mulutnya yang agak ke bawah.Habitatnya di sungai-sungai besar dan muara-muara sungai yang tersebar di Indonesia, India, dan Myanmar. Daging ikan patin sangat gurih dan lezat sehingga terkenal dan sangat digemari oleh masyarakat.
Di alam ikan ini dikumpulkan di tepi-tepi sungai besar pada akhir musim penghujan atau sekitar bulan April sampai Mei. Alat yang dipergunakan adalah seser yaitu semacam jala yang diperegang dengan sepasang bilah bambu. Pengoperasiannya dengan cara mendorong atau menyeserkannya ke arah depan. Waktu penangkapannya menjelang fajar karena pada saat itu anak-anak patin umumnya berenang bergerombol dan sesekali muncul ke permukaan air untuk menghirup oksigen dari udara langsung.
C. Kerabat Ikan Patin
Kerabat dekat ikan patin yang ada di Indonesia umumnya memiliki ciri-ciri keluarga Pangasidae pada umumnya, yaitu bentuk badannya sedikit memipih, tidak bersisik atau sisiknya halus sekali. Mulutnya kecil dengan 2 - 4 pasang sungut peraba. Terdapat patil pada sirip punggung dan sirip dadanya. Sirip duburnya panjang dimulai dari belakang dubur hingga sampai pangkal sirip ekor.
Konon kerabat patin di Indonesia terdapat cukup banyak, di antaranya Pangasius polyuranodo (ikan juaro), Pangasius macronema (ikan rios, riu, lancang), Pangasius micronemus (wakal, riuscaring), Pangasius nasutus (pedado), Pangasius nieuwenhuisii (lawang).
1. Pangasius polyuranodo
Ikan ini dikenal juga dengan sebutan ikan juaro. Tubuhnya berwarna putih seperti mutiara dengan punggung kehitam-hitaman. Bentuk tubuh tinggi dengan sirip punggung memiliki tujuh jari-jari lunak dan dua buah jari-jari keras yang salah satu di antaranya menjadi senjata yang sangat ampuh berupa patil yang sangat kuat. Sirip lemak pada punggungnya kecil sekali, sementara sirip ekornya bercagak simetris. Sirip duburnya panjang dan memiliki 35 - 40 jari-jari lunak. Sirip perut memiliki enam buah jari-jari lunak, sedangkan sirip dada memiliki 12 - 13 jari-jari lunak dan sebuah jari-jari keras yang sangat kuat yang juga berfungsi sebagai patil.
Di dekat lubang hidungnya terdapat sungut peraba dari rahang atas yang berpangkal di sudut mulut dan ujungnya sampai di pangkal sirip dada. Sungut peraba pada rahang bawah pendek. Ranjang tubuh dapat mencapai 50 cm, hidupnya di sungai-sungai. Penyebarannya di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Thailand.
2. Pangasius macronema
Ikan ini memiliki sungut yang lebih panjang daripada kepala. Gigi veromine terpisah-pisah, terdapat 37 - 45 sisir saring tipis pada lengkung insang pertama. Garis di tengah badan dan pada perut jelas terpisah di awal sirip dada. Penyebaran ikan ini meliputi daerah Jawa, Kalimantan, dan Indocina.
3. Pangasius micronemus
Ikan ini memiliki gigi veromine terpisah atau bertemu di satu titik, matanya sangat besar (kira-kira seperempat panjang kepala), moncong berbentuk segi, cuping rahang bawah memanjang daripada membulat, tonjolan tulang lengan pada pangkal sirip dada sangat pendek. Sungut rahang atas memanjang sampai pinggiran belakang mata atau melampauinya. Terdapat 13 - 16 sisir saring pada lengkung insang pertama. Ikan ini terdapat di Kepulauan Sunda dan Thailand.
4. Pangasius nasutus
Moncong ikan ini berbentuk runcing tajam dan sangat mencolok. Kumpulan gigi veromine lebarnya tiga kali panjangnya. Matanya sangat kecil (enam kali lebih pendek daripada panjang kepala) dan terletak di atas garis sudut mulut. Jumlah jari-jari sirip dubur relatif sedikit. Ketika mulutnya tertutup, gigi-gigi rahang atas terlihat semua. Penyebaran ikan ini di Sumatera, Kalimantan, dan Malaysia.
5. Pangasius nieuwenhuisii
Gigi veromine dan palatine bersatu dalam bidang lebar. Tonjolan tulang lengan pada pangkal sirip dada memanjang sampai dua per tiga atau tiga per empat jaraknya dari ujung sirip dada. Moncongnya meruncing. Penyebaran ikan ini di Kalimantan Timur.
III
PEMIJAHAN IKAN PATIN SECARA KAWIN SUNTIK
Secara umum, pemijahan ikan dibedakan menjadi pemijahan alami dan pemijahan buatan. Pemijahan alami biasanya dilakukan pada jenis-jenis ikan yang mudah dipijahkan sepanjang tahun seperti ikan mas, tawes, gurami, lele, dan lain sebagainya. Sebaliknya, pemijahan buatan umumnya dilakukan terhadap ikan-ikan yang dipelihara dalam lingkungan yang tidak sesuai dengan faktor lingkungannya dialam.
Pemijahan buatan sering kali dilakukan terhadap ikan patin (Pangasius pangasius) maupun jambal siam (Pangasius sutchi). Namun, pemijahan buatan sering juga dilakukan pada ikan yang mudah memijah dengan tujuan tertentu, misalnya untuk mempermudah pengontrolan, menekan mortalitas, dan lain sebagainya.
Ikan patin sulit memijah di kolam atau wadah pemeliharaan dan termasuk pula ikan yang kawin musiman. Oleh karena itu, pemijahan ikan patin umumnya dilakukan secara buatan karena selama ini belum ada orang yang berhasil memanipulasi lingkungan untuk membujuk patin mau memijah secara alami. Meskipun demikian, pemijahan alami patin di alam tidak mengalami hambatan. Buktinya benih-benih ikan ini masih banyak ditemukan di alam, begitu pula patin yang sudah berukuran layak konsumsi. Di dalam bab ini akan diuraikan tahap-tahap kegiatan pemijahan buatan ikan patin.
A. Penyiapan Induk
Induk patin yang hendak dipijahkan bisa berasal dari hasil pemeliharaan di kolam sejak kecil ataupun hasil tangkapan di alam ketika musim pemijahan tiba. Induk yang dipelihara sejak kecil di kolam tentunya sudah beradaptasi dan tidak liar, sementara yang didapatkan dari alam umumnya masih liar dan harus melalui proses adaptasi terlebih dahulu. Oleh karena itu, induk yang diperoleh di alam umumnya mengalami luka-luka karena perlakuan saat penangkapan maupun tingkah lakunya yang masih liar di kolam penampungan. Induk yang ideal adalah dari kawanan patin dewasa hasil pembesaran di kolam sehingga dapat dipilihkan induk yang benar-benar berkualitas baik.
B. Pemeliharaan Calon Induk
Induk yang akan dipijahkan sebaiknya dipelihara dulu secara khusus di dalam sangkar terapung. Selama pemeliharaan, induk ikan diberi makanan khusus yang banyak mengandung protein.
Upaya untuk memperoleh induk matang telur yang pernah dilakukan oleh Sub Balai Psnelitian Perikanan Air Tawar Ralembang adalah dengan memberikan makanan berbentuk gumpalan (pasta) dari bahan-bahan pembuat makanan ayarn dengan komposisi tepung ikan 35 %, dedak halus 30 %, menir beras 25 %, tepung kedelai 10 %, serta vitamin dan mineral 0,5 %.
Makanan diberikan lima hari dalam seminggu sebanyak 5 % setiap hari dengan pembagian pagi hari 2,5 % dan sore hari 2,5 %. Selain itu, diberikan juga ikan rucah dua kali seminggu sebanyak 10 % dari bobot ikan induk. Langkah ini dilakukan untuk mempercepat kematangan gonad.
Tempat pemeliharaan induk berupa beberapa sangkar kayu dan masing-masing berukuran 3 m x 1,5 m x 2 m. Tempat pemeliharaan ini dilengkapi dengan rakit dan pelampung dari drum. Calon induk yang dipelihara berukuran 1,5 - 2 kg dengan padat penebaran 5 ekor/m3 air. Pemeliharaan calon induk ini dimaksudkan untuk mendapatkan patin yang matang kelamin.
Setelah sekitar empat bulan pemeliharaan induk, tidak semua calon induk matang kelamin. Hanya sekitar 20 – 30 % dari jumlah calon induk yang matang kelamin. Untuk itu perlu dilakukan seleksi lagi untuk memilih induk yang siap dipijahkan.
C. Pemilihan Induk Matang Kelamin
Meskipun dipijahkan secara buatan dengan suntikan ekstrak kelenjar hipofise, syarat utama dari keberhasilan pemijahan patin ini adalah induk yang dipijahkan, haruslah matang kelamin. Adapun cirri-ciri induk patin yang sudah matang gonad dan siap dipijahkan adalah sebagai berikut.
1. Induk betina
1) umur tiga tahun,
2) ukuran 1,5 - 2 kg,
3) perut membesar ke arah anus,
4) perut terasa empuk dan halus bila diraba,
5) kloaka membengkak dan berwama merah tua,
6) kulit pada bagian perut lembek dan tipis,
7) kalau di sekitar kloaka ditekan akan keluar beberapa butir telur yang bentuknya bundar dan besarnya seragam.
2. Induk jantan
1) umur dua tahun
2) ukuran 1,5 - 2 kg,
3) kulit perut lembek dan tipis,
4) bila diurut akan keluar cairan sperma berwama putih, dan
5) kelamin membengkak dan berwarna merah tua.
Telur yang sudah matang bisa dicek dengan cara sebagai berikut :
a. Diambil satu ekor induk yang sudah dirawat atau dikarantina sekitar satu bulan.
b. Daerah sekitar perutnya berwama lebih kekuningan atau transparan.
c. Beberapa butir telur diambil dengan cara disedot dengan selang atau pipet. Caranya, selang dimasukkan ke dalam lubang kelamin induk betina pelan-pelan sedalam 3 cm. Setelah itu, ujung lainnya disedot dengan mulut hingga tampak beberapa butir telur di dalam selang. Cara ini dapat diterapkan pula untuk penyedotan dengan bantuan pipet.
d. Telur yang sudah matang ditandai dengan warnanya yang putih kekuningan.
e. Bentuk telur bulat dan tidak benjol.
f. Cangkang cukup kuat, tidak mudah pecah bila disitir dengan jari (dipegang dengan dua jari).
g. Bila telur ikan dicek dengan mikroskop akan tampak cerah atau transparan, bening, dan bulat mulus.
Setelah yakin benar bahwa telur sudah matang, barulah dilaksanakan langkah berikutnya (pemijahan).
D. Musim Pemijahan
Ikan patin (Pangasius pangasius) memiliki kebiasaan memijah sekali setahun. Pemijahan biasanya terjadi pada musim hujan (bulan November - Maret). Musim pemijahan ini juga dipengaruhi oleh iklim di suatu daerah sehingga masing-masing daerah memiliki masa atau waktu pemijahan yang berbeda-beda. Pada ikan lele bangkok (Pangasius sutchi), hal ini terbukti cukup berpengaruh. Di daerah yang mempunyai curah hujan cukup seperti Bogor, Sukabumi, dan Cianjur umumnya ikan lele Bangkok memiliki masa pemijahan yang lebih awal dibandingkan di daerah yang relatif kurang hujan seperti Jakarta. Sementara itu, penelitian serupa khusus untuk ikan patin belum ada.
Sehubungan dengan perbedaan waktu pemijahan tersebut maka diperlukan kejelian dari seorang petani, pengusaha, ataupun teknisi yang menangani pemijahan ikan patin ini. Di luar musim pemijahan, biasanya pemijahan buatan yang dilakukan terhadap ikan patin tidak membuahkan hasil. Hal ini sering kali menjadi kendala bagi pengembangan ikan ini dan merupakan faktor yang harus diperhitungkan, terutama saat persiapan calon induk yang memerlukan waktu sekitar 4 bulan.
E. Penghitungan Berat Donor
Jika tersedia induk betina patin seberat 3 kg dan induk jantan antara 2 kg maka donor ikan mas untuk induk betina adalah 9 kg dan induk jantan 4 kg. Jumlah total donor (untuk induk jantan dan betina) adalah 9 kg + 4 kg = 13 kg. Perhitungan itu diasumsikan apabila kita hanya memijahkan seekor induk betina dengan berat 3 kg. Jika total induk betina yang hendak dipijahkan beratnya 10 kg maka jumlah donor yang disediakan mengikuti dosis yang ada.
F. Pengambilan Kelenjar Hipofise
Untuk ikan donor, yaitu ikan yang akan dikorbankan untuk diambil kelenjar hipofisenya, bisa digunakan ikan mas yang lebih murah penyediaannya dan tidak perlu menunggu lama untuk matang kelamin.
Pengambilan kelenjar hipofise bisa dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut.
1. Ikan mas dipotong tegak lurus atau vertikal di bagian belakang tutup insang.
2. Potongan kepala diletakkan dengan posisi mulut menghadap ke atas.
3. Ikan dipotong atau diiris secara vertikal mulai dari permukaan sedikit di atas mulut sehingga tampak organ otak yang dilingkupi lendir atau lemak.
4. Otak diangkat dan lendir dibersihkan dengan tisu atau kapas.
5. Bila lendir sudah bersih maka akan tampak butiran putih mirip jerawat. itulah kelenjar hormon hipofise yang diperlukan.
6. Perbandingan donorjdan resipien. Pada umumnya kelenjar hipofise diperoleh dari donor ikan mas yang berumur 6 - 12 bulan. Efektivitas rangsangan pada ikan mas jantan lebih tinggi daripada betina. 0leh karena itu sebagai donor lebih banyak dipilih ikan mas jantan. Berat ikan mas yang dibutuhkan tergantung pada dosis penyuntikan yang digunakan. Perbandingan berat resipien, dan donor ikan betina adalah 1 : 4, sedangkan perbandingan .resipien dan donor ikan jantan cukup 1 : 1 saja.
G. Pembuatan Ekstrak
Cara pembuatan ekstrak adalah sebagai berikut. Kelenjar hipofise dihancurkan dengan menggunakan gelas penggerus sampai halus benar sambil dicampur atau dilarutkan dengan akuabides, sebanyak 2,5 ml. Agar larutan yang diperoleh .lebih. mantap maka untuk ini bisa dibantu dengan sentrifugal atau pemusing. Setelah diperoleh larutan putih susu, larutan itu disedot dengan alat suntik (injection).
H. Penyuntikan
1. Selain menggunakan larutan kelenjar hipofise yang mengandung hormon gonadotropin, perangsangan juga dilakukan dengan Pregnyl yang mengandung human chorionic gonadotropin (HCG).
2. Penyuntikan induk betina dilakukan dua .kali. Penyuntikan pertama sebanyak satu dosis dan HCG 300 ID (interna-tryirk tional unit) dilakukan pada siang hari sekitar pukul 11.00, maksudnya agar penyuntikan kedua tidak terlalu malam.
3. Penyuntikan. kedua sebanyak tiga dosis dan HCG 50 IU dilakukan setelah selang 10 jam sejak penyuntikan pertama.
4. Penyuntikan dapat dilakukan secara intramuskular di belakang pangkal sirip punggung.
5. Jarum suntik yang digunakan sebaiknya berukuran 0,12 mm.
6. Diusahakan agar induk ikan tidak terlalu banyak berontak atau jatuh karena dapat mengakibatkan telur gugur. Untuk itu, penyuntikan biasanya dilakukan oleh lebih dari satu orang dan pembagian tugasnya ditentukan sebelumnya. Ada yang bertugas memegang jarum suntik dan menyuntikkannya, sementara petugas yang lain memegang ikan, Karena patin ini licin maka tubuhnya perlu dibalut dengan kain hapa agar tidak berontak. Bagian kepalanya tidak ikut dibungkus karena. akan mengganggu pernapasannya.
7. Karena penyuntikan dilakukan dua kali maka lokasi penyuntikan biasanya dibedakan antara penyuntikan pertama dan kedua, yaitu di sisi kiri dan kanan sirip punggung. Supaya tidak salah, biasanya disepakati penyuntikan pertama di sebelah kiri, sementara penyuntikan kedua di sebelah kanan sirip punggung. Supaya tidak bingung, penentuan kanan dan kiri ikan adalah sama dengan kanan kiri penyuntik dengan posisi kepala yang sama.
I. Pemijahan
Pemijahan ikan patin tidak bisa dilakukan secara alami. Ikan patin yang sudah disuntik itu dilepaskan di kolam pembenihan untuk menunggu pasangan induk patin Kawin dengan sendirinya, Pemijahan dengan suntikan ini masih harus dibantu lagi dengan langkah berikutnya yaitu pengurutan (stripping). Cara maupun waktu pengurutan harus mengikuti prosedur yang disarankan, yaitu perut diurut pelan-pelan dari bagian depan (dada) ke arah belakang dengan menggunakan jari tengah dan jempol.
Jika sudah waktunya, yaitu dekat dengan tanda-tanda ovulasi atau sekitar 8 - 12 jam dari penyuntikan kedua, induk betina ditangkap dengan menggunakan kain hapa. Hal yang sama dilakukan juga untuk induk jantan. Siapkan baskom beremail yang bersih.
Cara yang akan dilakukan ini dikenal sebagai metode dry stripping atau metode kering. Perut induk betina diurut pelan ke arah belakang dan telur yang keluar ditampung dalam piring beremail tersebut. Setelah itu, perut induk jantan juga diurut agar spermanya keluar. Kemudian telur dan sperma diaduk sampai rata dengan menggunakan bulu ayam selama sekitar 0,5 menit. Selanjutnya, ke dalam campuran telur dan sperma itu dituangkan air bersih sedikit demi sedikit sambil terus diaduk selama sekitar 2 menit. Kemudian air dibuang dan diganti dengan air yang baru atau dibilas. Pembilasan dilakukan dua sampai tiga kali hingga sisa sperma dan sebagian gelembung minyak pada telur berkurang.
Induk yang matang kelamin menjadi syarat utama keberhasilan pemijahan.
Cirri-cirinya perlu dikenali
Pembuatan ekstrak kelenjar hipofise dan penyuntikannya merupakan sebagian
Tahap dalam proses pemijahan buatan ikan patin.
Induk ditangkap kemudian dikembalikan ke kolam masing-masing. Induk jantan dimasukkan ke kolam jantan dan induk betina dimasukkan ke kolam betina.
J. Persiapan Bak Penetasan
Untuk keberhasilan penetasan telur ikan patin ini, bak penetasan harus dipersiapkan betul. Langkah-langkahnya meliputi beberapa hal-hal berikut.
1. Bak pemijahan dicuci bersih dan dikeringkan.
2. Hapa dipasang untuk menetaskan telur.
3. Kolam diisi dengan air bersih.
4. Untuk menghindari timbulnya jamur maka perlu ditambahkan larutan penghambat pertumbuhan jamur, antara lain dengan Emolin atau Blitz-ich dengan dosis 0,05 cc/1. Setelah itu, aerator ditempatkan pada bak penetasan agar keperluan oksigen untuk larva dapat tercukupi.
5. Pada daerah-daerah yang suhu aimya relatif.rendah diperlukan heater (pemanas) dengan tujuan untuk mencapai suhu optimal yang relatif stabil.
K. Penetasan
Telur disebarkan merata ke dalam hapa yang telah disiapkan sebelumnya di dalam bak yang berisi air bersih yang telah dilengkapi dengan aerator. Telur ikan ini dijaga agar jangan sampai bertumpuk karena akan mengakibatkan telur menjadi busuk. Untuk itu, telur-telur tersebut disebarkan dengan menggunakan bulu ayam agar telur-telur tidak pecah.
Di bak penetasan ini, telur yang dibuahi akan berkembang sedikit demi sedikit menjadi larva. Adapun dari hasil pengamatan di bak penetasan, perkembangan telur ikan patin pada suhu 26 - 28°C seperti tercantum pada Tabel 1.
TABEL 1. PERKEMBANGAN TELUR IKAN PATIN PADA SUHU 26 - 28°C
Stadium perkembangan Jarak waktu sejak pembuahan
1. Pembuahan
2. 1 sel
3. 2 sel
4. 4 sel
5. 8 sel
6. 16 sel
7. 32 sel
8. 64 sel
9. morula
10. Blastula
11. Pembentukan Yolk plug
12. Sommit
13. Embrio berbentuk lengkap
14. Menetas 0 menit
20 menit
35 menit
50 menit
1 jam 05 menit
1 jam 25 menit
1 jam 40 menit
2 jam 30 menit
3 jam 15 menit
4 jam 25 menit
9 jam 30 menit
12 jam 15 menit
24 jam 20 menit
28 jam 00 menit
Sumber : Arifin, 1987
Dari pengamatan teresbut, telur patin yang dibuahi akan menetas dalam jangka waktu 28 jam.
L. Perawatan Larva
Benih yang berumur 1 hari dipindahkan ke dalam akuarium berukuran 80 cm x 45 cm x 45 cm. Setiap akuarium diisi dengan air sumur bor yang telah diaerasi. Kepadatan penebaran ikan adalah 500 ekor per akuarium. Sampai benih berumur sehari belum diberi makanan tambahan dari luar karena masih mempunyai cadangan makanan berupa yolk sack atau kuning telur. Pada hari kedua dan ketiga, baru benih itu diberi makanan tambahan berupa emuisi kuning telur ayam yang direbus. Selanjutnya, benih ikan diberi makan moina (Moina cyprinacea) atau yang populer dikenal sebagai kutu air dan jentik-jentik nyamuk.
Larva dipelihara di akuarium hingga berumur 15 hari. Setelah berumur sekitar 17 - 18 hari, benih dijarangkan di kolam pendederan yang lebih luas dengan menjaga kondisi lingkungan, makanan yang cukup, serta kualitas airnya.
Dari hasil percobaan yang dilakukan Zainal Arifin (1990) benih patin yang dipelihara pada air dengan kadar salinitas 4 permil dan 8 permil akan memiliki derajat kelangsungan hidup yang lebih baik, yaitu 87,8 % dan 85,7 %. Sementara benih yang dipelihara di dalam air bersalinitas 0 permil dan 12 permil mempunyai derajat kelangsungan hidup masing-masing hanya 73,3 % dan 72,3 %.
M. Pendederan Benih
Benih yang berumur 15 - 20 hari dipindahkan ke dalam kolam yang telah dipupuk dengan kotoran ayam sebanyak 1 kg/m2, disebarkan di dasar kolam. , Rsmupukan ini dilakukan seminggu sebelumnya sehingga telah tumbuh makanan alami ikan patin.
Pemindahan ikan dilakukan. pada pagi hari ketika suhu kolam masih rendah. Air akuarium sebagian dikeluarkan dan benih patin di dalam akuarium ditangkap dengan serokan halus. Benih ditampung dengan menggunakan ember plastik yang bertangkal agar mudah ditenteng.
Penebaran ikan dilakukan di bagian tepi kolam yang terlindung dari sinar matahari. Penebaran ikanjidak boleh dilakukan dengan menggerojokkan air ember langsung ke dalam kolam, Penebaran ikan yang benar yaitu dengan nnenenggelamkan ember ke dalam air kolam sehingga benih ikan ias keluar dengan sendirinya.
IV
PENGANGKUTAN BENIH
Pada usaha budi daya yang semakin berkembang, tempat pembenihan dan pembesaran sering kali dipisahkan dengan jarak yang agak jauh. Masing-masing aktivitas tersebut sering kali membutuhkan lahan yang sangat spesifik dan berkaitan dengan faktor efisiensi dan efektivitas. Hal ini tetap menjadi kendala meskipun dapat diatasi.
Pemindahan benih dari tempat pembenihan ke tempat pembesaran memerlukan penanganan khusus agar benih selamat. Teknologi transportasi benih sebenarnya sudah berkembang dari cara terbuka yang secara turun-temurun dilakukan oleh para pedagang ikan hingga cara tertutup (dalam kantong plastic yang diberi oksigen murni) yang dikembangkan oleh lembaga penelitian. Pada prakteknya, tidak semua petani ataupun pedagang ikan mengganti transportasi benih secara tradisional (terbuka) dengan cara yang lebih modern. Karena alasan praktis saja maka para pedagang ikan masih mengangkut benih ikan yang hendak dijual di pasar dengan menggunakan kreneng.
Keberhasilan transportasi benih ikan biasanya sangat eral kaitannya dengan kondisi fisik maupun kimia air, terutama menyangkut oksigen terlarut, NH3, CO2, pH, dan suhu air. Kepadatan ikan yang diangkut sangat mempengaruhi kelangsungan hidup ikan selama pengangkutan karena semakin padat ikan yang diangkut akan semakin ketat pula persaingan penggunaan ruang dan oksigen terlarut. Pemakaian oksigen oleh ikan terjadi pada 15 menit pertama selama masa pengangkutan, sedangkan peningkatan konsumsi oksigen akan terjadi apabila suhu naik. Oleh karena itu, kepadatan ikan sebaiknya dikurangi apabila suhu diperkirakan akan naik sekitar 10°C.
Adapun langkah-langkah yang harus dipenuhi untuk keberhasilan pengangkutan benih ikan patin tersebut adalah sebagai berikut.
1. Pemberokan
Selama pengangkutan akan terjadi penurunan kualitas air akibat metabolisme ikan. Selama pengangkutan, benih ikan mengeluarkan ekskresi berupa padatan maupun cairan. Untuk mengurangi kotoran yang akan dikeluarkan benih patin maka selama perjalanan ikan diberok atau dipuasakan.
Benih ikan dipuasakan selama 18 jam. Jika kurang dari waktu itu, dikhawatirkan perut ikan belum kosong sama sekali Sementara, jika proses puasa terlalu lama maka ikan sangat lapar sehingga akan saling memangsa sesamanya di perjalanan.
2. Air
Air yang digunakan adalah air sumur yang sudah diaerai selama 24 jam. Penggunaan air sumur dimaksudkan untuk mengurangi pencemaran bahan beracun seperti pestisida dari bahan-bahan kimia lainnya. Maksud aerasi adalah untuk membuang gas-gas yang berbahaya di dalam air, seperti CO2 dan menambah kandungan O2
3. Wadah
Untuk mengangkut benih patin dipergunakan kantong plastik kecil berkapasitas 5 liter. Kantong plastik dibuat rangkap untuk menghindari kebocoran. Kemudian kantong plastik tersebut dimasukkan ke dalam kardus.
4. Oksigen
Untuk menjamin keselamatan benih ikan selama perjalanan, diperlukan oksigen murni yang dijual di depot atau toko dalam sebuah tabung kedap udara. Perbandingan oksigen dengan air adalah 2 : 1. Dalam sebuah kantong plastik sebaiknya hanya diisi dengan 1 liter air sumur yang sudah diaerasi selama 24 jam, ikan, dan 2 liter oksigen mumi dengan tekanan 100 kg per cm2.
Pengisian oksigen ke dalam kantong plastic pengangkut benih.
Perbandingan oksigen dan air adalah 2 : 1
5. Benih
Benih yang diangkut biasanya berumur 21 hari dengan bobot ± 0,025 g sebanyak 400 ekor setiap kantong.
6. Pengemasan
Pengemasan benih hendaknya dapat menjamin keselamatan benih selama pengangkutan. Beberapa hal tentang pengemasan berikut ini perlu diperhatikan.
a. Disediakan kantong sebanyak yang diperlukan. Setiap kantong dibuat rangkap untuk menghindari kebocoran, Disediakan pula karet gelang yang dibuat simpul sederhana.
b. Masing-masing kantong diisi dengan air sumur yang telah diaerasi selama 24 jam. Disiapkan di tempat yang mudah dijangkau dan hindarkan dari injakan orang yang lalu lalang. Jika kantong yang telah diisi air cukup banyak maka sebaiknya ditempatkan dulu di dalam ember plastic atau bak fiberglas.
c. Benih ikan yang sudah dipuasakan selama 18 jam ditangkap dengan serokan halus lalu dimasukkan ke dalam kantong plastik yang sudah disediakan. Jika ada cukup banyak benih yang akan diangkut atau dengan kata lain ada beberapa kantong plastik yang hendak dikemas maka pekerjaan yang dilakukan adalah selangkah demi selangkah. Benih ikan dimasukkan dahulu ke dalam semua kantong plastic Setelah itu baru beralih ke pekerjaan lain.
d. Satu per satu kantong diisi oksigen murni dengan perbandingan air : oksigen = 1 : 2. Sampai pada pekerjaan ini maka pekerjaan pada setiap kantong harus dituntaskan terlebih dulu. Kantong yang sudah diisi oksigen mumi harus segera diikat dengan karet gelang rangkap. Setelah itu, kantong plastik langsung dimasukkan ke dalam kardus. Banyaknya kantong plastik yang akan dimasukkan sangat tergantung pada ukuran kardus.
7. Lama pengangkutan
Dengan cara pengemasan seperti pada nomor 6 tersebut, benih patin bisa diangkut selama 10 jam dengan tingkat kelangsungan hidup mencapai 98,67 %. Jika jarak yang hendak ditempuh memerlukan waktu perjalanan yang lebih lama maka satu-satunya cara untuk menjamin agar ikan tersebut selamat adalah dengan mengurangi jumlah benih ikan di dalam setiap kantong plastik. Berdasarkan penelitian terbukti bahwa benih patin masih aman diangkut selama 14 jam dengan kepadatan 300 ekor per liter.
V
PEMBESARAN IKAN PATIN KOLAM
Pembesaran ikan patin di dalam kolam dilakukan di kolam khusus untuk pembesaran. Biasanya, pembesaran patin ini dilakukan setelah ikan tersebut dipelihara dahulu di kolam pendederan. Namun, ada pula orang yang langsung memeliharanya di kolam pembesaran tanpa harus melalui kolam pendederan terlebih dahulu.
Pemeliharaan di kolam pendederan dilakukan untuk ikan patin yang berukuran masih sangat kecil. Benih patin yang dijual di pasaran ada yang masih kecil-kecil sehingga haru didederkan dulu. Akan tetapi, bila ukuran benih tersebut sudah cukup besar maka pendederan tidak diperlukan lagi. Artinya, begitu dibeli, bibit tersebut langsung dipelihara di kolan pembesaran.
Ikan patin tidak selalu memilih jenis kolam tertentu. Ikan ini dapat dipelihara dan tetap bisa tumbuh dengan baik di berbagai jenis kolam. Ketiga jenis kolam yang bisa digunakan untuk pembesaran patin yaitu kolam irigasi, kolam tadah hujan dan kolam rawa nonpasang surut.
1. Kolam irigasi
Sesuai dengan namanya, kolam irigasi memperoleh air dari Jaringan irigasi. Ffenggunaan kolam irigasi bagi pembesaran ikan patin sangat dianjurkan karena di dalam kolam ini air tersedia sepanjang waktu dan jauh dari kekhawatiran kemungkinan kekurangan air. Dalam pembuatan kolam irigasi, penentuan luas kolam lebih leluasa sehingga kolam bisa dibuat berukuran besar.
Sebelum diputuskan untuk membangun kolam, jenis tanah juga harus diketahui karena jenis tanah ini akan berpengaruh langsung terhadap tingkat kesuburan air kolam. Jenis tanah yang baik selain menjadi sumber hara juga menentukan sifat fisika dan kimia air kolam. Selain itu, tekstur tanah juga perlu diperhatikan untuk mengetahui tingkat rembesan. Oleh karena itu, sebaiknya kolam dibuat pada tanah yang bertekstur liat karena sangat kedap air (mempunyai tingkat rembesan yang relatif kecil).
Sumber air yang masuk ke kolam juga harus diketahui. Sumber air untuk jaringan irigasi adalah air tanah yang mengalir ke bagian lebih rendah melalui sungai. Selanjutnya, air ini dialirkan lagi dari sungai melalui saluran-saluran irigasi. Dalam perjalannya, air tersebut melewati berbagai jenis tanah. Bila melalui tanah yang mengandung kapur, air akan bersifat alkali (basa). Sebaliknya, air yang melalui rawa akan bersifat asam. Air yang melewati daerah pertanian dan pemukiman banyak mengandung bahan organik dan subur. Sementara air yang melalui daerah industri dan pertambangan biasanya mengandung zat pencemar. Oleh karena itu, faktor-faktor tersebut harus menjadi bahan pertimbangan.
2. Kolam tadah hujan
Kolam tadah hujan adalah kolam yang hanya mendapat sumber air dari hujan. Kolam tadah hujan ini dibuat bila di sekitar bkasi ndak terdapat sumber air irigasi ataupun sumber air tanah. Jadi, sumber air untuk mengisi air kolam sepenuhnya berasal dari air hujan. Karena mengandalkan air hujan maka curah hujan akan menentukan jumlah atau volume air kolam.
Ikan patin mengharapkan kolam dengan kedalaman tertentu (1 - 1,5 meter). Oleh karena itu, bila menggunakan kolam tadah hujan untuk pembesaran ikan patin maka harus dipastikan dahulu bahwa air tersedia cukup untuk ukuran kedalaman tersebut sepanjang masa pemeliharaan. Itulah sebabnya, pembangunan kolam tadah hujan tidak dapat dilakukan di sembarang tempat. Lokasi yang digunakan harus diteliti secara seksama mulai dari curah hujan, penguapan, tekstur tanah, dan konstruksi kolam. Wilayah yang memperoleh curah hujan lebih dari 1.500 mm per tahun dapat digunakan untuk membangun kolam tadah hujan bagi pembesaran ikan patin. Lebih amannya lagi, periode bulan basah di daerah tersebut mencapai 7 - 9 bulan. Sementara penguapan air per hari sekitar 5 mm. Ukuran kolam tadah hujan tidak bisa sebesar kolam irigasi, melainkan harus lebih kecil dari itu.
3. Kolam rawa nonpasang surut
Meskipun tidak populer, pembesaran patin di kolam rawa, khususnya rawa nonpasang surut, sudah pernah dicoba di Kertamulia, Muara Enim, Sumatera Selatan. Hasilnya, pertumbuhan ikan patin yang cukup baik terutama pada kolam rawa pasang surut yang sudah lama dibangun.
Umumnya kolam rawa bersifat sangat asam (pH rendah, kurang dari 4). Sifat tanah dan air kolam yang asam sebenarnya tidak cukup baik untuk pembesaran ikan patin. Namun, hal ini dapat diatasi dengan teknik reklamasi (pericucian). Caranya, kolam rawa tersebut dialiri air baru untuk mempercepat proses pelepasan material asam dan selanjutnya dibuang ke perairan yang lebih luas.
Upaya lain untuk menaikan pH pada kolam rawa nonpasang surut adalah dengan pengapuran. Biasanya efek kapur akan sangat membantu bila terlebih dahulu kolam direklamasi sebelum dikapur. Pangapuran dilakukan pada dasar kolam dan selanjutnya untuk menjaga stabilitas air dapat ditambahkan kapur dengan dosis yang lebih rendah. Kebutuhan kapur untuk tanah asam dapat dilihat pada Tabel 2.
TABEL 2. KEBUTUHAN KAPUR UNTUK TANAH ASAM (TON PER HEKTAR)
Nilai pH Tekstur Tanah
Lempung liat Pasir Berlumpur Pasir
4,0
4,0 – 4,5
4,5 – 5,0
5,0 – 5,5
5,5 – 6,0
6,0 – 6,5 4,00
3,00
2,00
1,50
1,00
0,50 2,00
1,50
1,25
1,00
0,50
0,50 1,25
1,25
1,00
0,50
0,25
0,00
Sumber : Departemen Pertanian, 1989
Pembesaran ikan patin di kolam pembesaran ini ternyata bisa dilakukan dengan dua cara. Pertama, pembesaran ikan patin secara tunggal atau biasa disebut sistem monokultur. Cara yang kedua yaitu pembesaran ikan patin bersama-sama ikan jenis lainnya atau biasa disebut pembesaran sistem polikultur.
A. Pembesaran Ikan Patin Sistem Monokultur
Sistem pemeliharaan monokultur ini sudah banyak dilakukan oleh peternak patin, terutama di wilayah Jawa Barat dan sekitarnya. Pada pembesaran monokultur, di dalam kolam tersebut hanya berisi ikan patin semata tanpa mencampurkan ikan jenis lainnya. Oleh karena itu, pembesaran ini sering juga disebut pembesaran sistem tunggal.
Keuntungan yang diperoleh pada pembesaran sistem tunggal yaitu pada saat panen hanya akan dipanen satu jenis ikan saja sehingga tidak perlu ada kegiatan memisahkan ikan-ikan itu berdasarkan jenisnya. Kerugiannya, selama pemeliharaan berlangsung, tidak seluruh ikan dapat memanfaatkan potensi kolam yang tersedia seperti ruang dan organisme makanan alami yang terdapat di kolam.
1. Konstruksi kolam
Tidak ada kriteria khusus untuk kolam pembesaran system monokultur. Artinya, kolam tersebut bisa saja berupa kolam tanah, kolam dasar tanah tetapi pematangnya dari beton, atau kolam beton. Yang penting kolam tersebut berair tenang, tidak mengalir deras apalagi kolam air deras (running water).
Pada pembesaran ikan sistem monokultur ini ukuran kolam yang cocok bagi pemeliharaan ikan patin minimal 200 m2. Apabila kurang dari ukuran itu berarti tidak ideal karena ikan patin tergolong ikan yang berukuran bongsor.
Pematang kolam dibuat miring agar kuat menahan volume air kolam.
Perbandingan sisi tegak dan sisi datar adalah 3 : 2 atau 1 : 1.
Pematang kolam harus dibuat dengan ukuran yang memadai, sesuai dengan luas kolam. Selain kuat untuk menahan volume air di dalam kolam, pematang juga harus mampu menahan luapan air yang timbul karena banjir atau hujan lebat. Sisi pematang dibuat miring dengan perbandingan sisi tegak dan sisi mendatarnya yaitu 1 : 1 atau 2 : 3.
Tinggi pematang harus disesuaikan dengan luas kolam. Maksudnya, pematang harus lebih tinggi beberapa sentimeter dari permukaan air kolam sehingga air tidak luber dan juga untuk keamanan bagi ikan. Lebar pematang bagian atas dapat dibuat sama dengan tinggi pematang, tetapi tidak boleh kurang dari 1 meter agar pematang tidak mudah hancur.
Saluran pemasukan air. Saluran ini memungkinkan tersedianya air
Sepanjang Waktu bagi kolam berpengairan teknis.
Sumber air yang masuk kekolam perlu diperhatikan. Sumber air yang baik
mengandung bahan organic, tetapi tidak mengandung zat pencemar
Kolam pembesaran patin juga harus dilengkapi dengan kamalir di sekeliling dan di tengah kolam secara diagonal. Kamalir ini dapat menjadi tempat berkumpulnya ikan pada saat panen. Dasar kamalir lebih dalam sehingga selain mempermudah pemanenan ikan, kamalir juga berfungsi sebagai tempat berlindung ikan dari serangan hama atau sengatan matahari. Lebar kamalir cukup dibuat 1 meter, sedangkan kedalamannya 30 cm.
Kamalir harus agak miring ke arah pintu pengeluaran untuk mempermudah penggiringan ikan saat panen. Pintu pemasukan dan pengeluaran bisa dibuat dari bambu atau pipa paralon. Pintu pengeluaran terdiri dari dua bagian. Bagian pertama yaitu pintu pengeluaran yang terletak sejajar dengan dasar kamalir. Rntu ini berfungsi untuk mengeringkan kolam pada saat panen, sedangkan bagian kedua merupakan pintu air yang terletak di sebelah atas bagian pertama. Pintu pengeluaran sebelah atas berfungsi untuk mengalirkan kelebihan air yang berasal dari pintu pemasukan. Pintu pemasukan air cukup satu bagian saja dan harus terletak lebih tinggi daripada pintu pengeluaran bagian atas. Pintu pemasukan dan pengeluaran harus dilengkapi saringan agar ikan tidak lolos dan juga untuk mencegah ikan jenis lain masuk ke kolam.
2. Persiapan kolam
Persiapan kolam pembesaran ikan patin dimulai dengan melakukan pengeringan kolam. Kolam dikeringkan dan dibiarkan selama 3 - 7 hari sampai dasar kolam menjadi retak supaya bibit penyakit dan parasit mati terbunuh. Untuk keamanan selama pembesaran, kondisi pematang kolam harus diperhatikan dengan cermat. Setiap ada kebocoran dan bagian-bagian tanggul yang kurang kuat segera diperbaiki. Keadaan kamalir diusahakan tidak ada yang mengalami pendangkalan. Pastikan juga pintu pengeluaran dan pemasukan sudah diberi saringan yang kokoh.
3. Pengapuran dan pemupukan
Pengapuran diperlukan untuk memperbaiki pH tanah dan mematikan bibit penyakit maupun hama ikan. Pada umumnya, pH yang cocok berkisar antara 6,7 - 8,6. Pupuk yang diberikan tidak langsung digunakan oleh ikan. Penggunaan pupuk ini untuk merangsang pakan alami patin seperti Rotifera dan organisme air lainnya dapat tumbuh di kolam. Pupuk yang bisa digunakan adalah pupuk kandang (organik), pupuk buatan (anorganik), maupun pupuk hijau.
Pupuk kandang yang bisa digunakan untuk kolam pembesaran patin adalah kotoran hewan dari sapi, kerbau, kuda, kambing, atau unqgas. Besamya dosis pupuk kandang yang digunakan untuk kolanrpembesaran dapat dilihat pada Tabel 3.
TABEL 3. DOSIS PENGGUNAAN PUPUK KANDANG BERDASARKAN SUMBERNYA
Sumber Pupuk Dosis
(ton/ha/masa tanam)
Sapi/kerbau
Kuda
Kambing
Unggas 6 – 7,5
6 – 7,5
2,5 – 5
2,5 - 5
Sumber : Eddy Afrianto dan Evi Liviawaty, 1988
Penggunaan pupuk buatan untuk kolam pembesaran patin harus diketahui dulu jenis tanah dan aimya (asam atau basa). Untuk kolam yang bersifat agak asam atau netral, sebaiknya menggunakan pupuk TS agar sifat kolam tidak bertambah asam.
Dosis yang dibutuhkan kira-kira 100 - 200 kg pupuk TS kasar atau setara 30 kg P2O2 untuk setiap satu hektar kolam. Kolam yang bersifat agak basa, hendaknya diberi pupuk superfosfat (biasanya diperdagangkan sebagai ES atau engkel superfosfat) agar air bersifat netral kembali.
Pemupukan pada umurnnya dilakukan dengan cara menebarkan pupuk secara merata ke seluruh permukaan dasar kolam sesuai dengan dosis.
4. Pengisian air Setelah pemupukan selesai, kolam diairi air setinggi 20 cm dan dibiarkanselama beberapa hari. Tujuannya adalah untuk memberi kesempatan kepada pitoplankton dan organisme air lainnya agar tumbuh dengan baik. Di alam, ikan patin menyukai perairan yang agak dalam sehingga sebelum penebaran dilakukan, kedalaman air kolam sebaiknya sudah mencapai 1,5 m. Pengisian air sampai mencapai ukuran ini harus dilakukan secara bertahap agar beban pematang tidak bertambah secara mendadak.
5. Penebaran ikan
Penebaran ikan ke kolam baru dapat dilakukan bila kondisi air kolam diperkirakan sudah stabil. Artinya, pengaruh pupuk sudah hilang dan makanan alami sudah cukup tersedia.
Kepadatan penebaran untuk ikan patin yang dibesarkan di kolam secara monokultur adalah 1 ekor/m2 untuk benih berukuran 100 g/ekor. Kepadatan penebaran ini tergantung pada ukuran benih. Makin besar ukuran benih yang ditebarkan maka makin jarang kepadatan penebarannya, demikian pula sebaliknya.
Penebaran ikan diusahakan ketika suhu air rendah yaitu sekitar 250oC. Suhu ini biasanya terjadi pada pagi atau sore hari. Agar lebih aman, dilakukan proses aklimatisasi sebelum ikan ditebarkan sehingga ikan tidak kaget dan langsung bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Cara mudah proses aklimatisasi ini adalah dengan membiarkan ikan patin keluar dengan sendirinya dari wadah pengangkutan benih ke air kolam. Proses ini bisa dipercepat dengan mencampur secara perlahan-lahan air kolam dengan air di wadah pengangkutan.
6. Pemberian pakan tambahan
Pemberian pakan tambahan pada proses pembesaran patin di kolam sangat mutlak untuk memacu pertumbuhan. pakan tambahan itu berupa pelet atau sisa-sisa kegiatan dapur. Jumlah pakan tambahan biasanya 3 – 4 % dari bobot total ikan per hari. Pelet ini ada yang dibuat sendiri (pelet lokal) dan ada pula pelet buatan pabrik (pelet komersial). Pakan tambahan lainnya yang juga bisa diberikan adalah limbah ikan, udang-udangan, moluska, dan bekicot. Pemberian pakan jenis ini sesuai dengan pakan ikan patin di alam.
Pelet, salah satu pakan patin. Penggunaannya dengan mempertimbangkan
Factor nutrisi dan ekonomi
Manakah yang baik bagi pertumbuhan patin, penggunaan pelet lokal atau pelet komersial ? Sejauh pelet lokal bias memenuhi standar nutrisi, penggunaan pelet lokal lebih menguntungkan secara ekonomi. Namun, kadang kala standar nutrisi yang dibutuhkan ikan tidak dapat terpenuhi secara tepat. Oleh karena itu, agar lebih aman sebaiknya digunakan pelet komersial yang mengandung protein lebih dari 20 %. Berikut hasil percobaan penggunaan pelet lokal dan pelet komersial.
TABEL 4. PERBANDINGAN TAMBAHAN BERAT, KONVENSI PAKAN, DAN MORTALITAS IKAN PATIN YANG DIBERI PELLET LOKAL DAN PELET KOMERSIAL.
Jenis pakan
(Pellet) Berat awal
(kg) Berat akhir
(Kg) Pertambahan
Berat (kg) KP Mortalitas
Lokal
Komersial 23,17
23,17 85,69
189,12 62,52
169,95 2,36
1,44 0,96
0,89
Sumber : Arifin dan Asyari, 1992.
Keterangan : Pemeliharaan di kolam dilakukan selama 4 bulan.
KP = konversi pakan
Pemberian pakan buatan dilakukan tiga sampai empat kali sehari (pagi, siang, sore, dan malam). Dalam pelaksanaannya, pemberian pakan buatan ini baru dihentikan setelah hampir 25 % dari ikan yang ada telah meninggalkan tempat pemberian pakan. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar ikan patin sudah mulai kenyang. Jarak waktu antara pemberian pakan yang satu dengan pemberian pakan berikutnya adalah 4 jam karena biasanya ikan kembali lapar setiap 3 - 4 jam setelah makan terakhir.
Seperti ikan-ikan jenis lainnya, ikan patin yang dipelihara secara monokultur di kolam juga biasa dilatih untuk makan pada tempat tertentu dan jam tertentu pula. Untuk itu, pemberian pakan sebaiknya dibiasakan pada satu tempat atau maksimal tiga tempat. Apabila sudah waktunya makan, diharapkan ikan patin akan berkumpul ke tempat tersebut.
7. Panen
Seperti telah disinggung di atas, panen ikan patin yang dipelihara secara monokultur di kolam lebih mudah dilakukan karena ikan tidak bercampur dengan ikan jenis lainnya. Pemanenan dilakukan bila ikan patin sudah dipelihara di kolam pembesaran selama enam bulan. Pada umur ini, ikan patin biasanya sudah mencapai ukuran konsumsi. Semakin besar ukuran benih yang ditebarkan semakin singkat masa pemeliharaannya.
Pemanenan ikan dilakukan dengan cara mengeringkan kolam secara perlahan-lahan. Saluran pemasukan air ditutup, sedangkan saluran pengeluaran yang terletak di dasar kolam dibuka. Dengan demikian, permukaan air dalam kolam akan menurun secara perlahan-lahan dan ikan secara naluriah akan berenang menuju ke bagian kolam yang masih mengandung air. Agar ikan patin tidak ada yang lolos maka pada pintu pengeluaran diberi krei bambu atau saringan.
Untuk menjaga agar ikan tidak stres, penurunan air hendaknya tidak dilakukan secara tergesa-gesa. Khusus pada kolam yang berukuran besar, penutupan saluran pemasukan air dan pembukaan saluran pengeluaran air sebaiknya dilakukan pada sore hari, yaitu sehari sebelum panen dilakukan. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ikan patin sudah berkumpul di sepanjang kamalir. Ikan ini kemudian digiring untuk dikumpulkan di bak penampungan. Ikan-ikan yang sudah terkumpul di dalam bak penampungan dapat segera ditangkap dengan alat-alat penangkap ikan seperti serok, waring, dan scoop net. Demi keamanan, pemanenan ikan patin sebaiknya tidak dilakukan secara langsung dengan tangan. Selanjutnya, ikan hasil panen ditampung di tempat khusus yang ada aliran airnya agar kondisinya tetap segar.
B. Pembesaran Ikan Patin Sistem Polikultur
Sesuai dengan namanya, pemeliharaan patin sistem polikultur berarti pemeliharaan ikan patin dengan ikan jenis lainnya. Pemeliharaan secara polikultur ini sebagai altematif pemecahan terhadap masalah penggunaan makanan alami di kolam. Dengan pemeliharaan secara polikultur diharapkan semua potensi pakan alami dan juga ruang yang tersedia di kolam dapat dimanfaatkan secara optimal alias tidak sia-sia.
Menurut sistem polikultur, pada satu kolam dipelihara berbagai jenis ikan yang membutuhkan jenis makanan yang berbeda sehingga setiap jenis ikan tidak akan bersaing dalam mencari makanan. Biasanya, produksi setiap jenis spesies ikan pada sistem polikultur akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil pemeliharaan dengan sistem monokultur. Sehubungan dengan hal ini, diduga telah terjadi peningkatan produksi makanan alamiah sebagai akibat proses pemupukan oleh kotoran ikan.
Secara umum, kendala yang dihadapi dalam pemeliharaan ikan secara polikultur adalah kesulitan menemukan kombinasi spesies ikan yang paling efektif dalam memanfaatkan makananan alami. Tuntutan lainnya, pemeliharaan polikultur juga harus rnempertimbangkan kebiasaan hidup dan ruang gerak ikan. Untuk ikan-ikan tertentu, kombinasi ini sudah ditemukanny namun, khusus untuk ikan patin, hingga kini belum banyak penelitian yang dilakukan untuk menjajagi kemungkinan pemeliharaan bersama ikan jenis lain. Penelitian yang sudah dilakukan adalah pemeliharaan polikultur ikan patin dengan ikan jelawat.
Dasar pemikiran pemeliharaan polikultur ikan patin dan ikan jelawat adalah sebagai berikut. Pada kolam pemeliharaan ikan patin saja secara monokultur, jumlah tanaman air yang tumbuh di kolam sangat banyak. Hal ini terjadi karena ikan patin bersifat ominivora yang lebih cenderung ke arah kamivora. Dengan demikian, tanaman air yang tumbuh subur di kolam tidak termanfaatkan. Sebaliknya, ikan jelawat bersifat herbivora. Dengan demikian, tanaman air yang tumbuh pada kolam pemeliharaan ikan jelawat hanya sedikit karena dimakan ikan jelawat. Berdasarkan pemikiran itu, kedua ikan ini menjadi cocok untuk dipelihara bersama.
Dari hasil penelitian juga diketahui, produksi ikan patin yang dipelihara secara polikultur dengan ikan jelawat dapat meningkat jika dibandingkan dengan pemeliharaan ikan patin atau ikan jelawat secara monokultur. Rada pemeliharaan ikan patin secara polikultur dengan ikan jelawat yang pemah dicoba di Kalimantan Selatan pakan tambahan yang diberikan berupa pelet dengan kandungan protein 27 %, sedangkan tanaman air yang diberikan (ditanam) berupa Hydrilla, Ultricularia, dan Najas. Berikut perbandingan ikan patin dan ikan jelawat yang dipelihara secara polikultur.
TABEL 6. RATA-RATA PERTUMBUHAN IKAN PATIN DAN IKAN JELAWAT YANG DIPELIHARA SECARA POLIKULTUR.
Komposisi Berat awal
(gr) Aret Akhir
(gr) Pertambahan
Berat (gr) Tingkat pertambahan (gr/hari)
20 % jelawat
100 % jelawat
80 % patin
100 % patin 44,6
42,5
1.246,0
1.193,0 76,4
70,1
1.952,0
1.883,0 31,9
27,6
709,0
640,0 0,36
0,30
7,83
7,13
Sumber Arifin, dkk, 1992
Dari data Tabel 5 diketahui bahwa polikultur patin 80 % dan jelawat 20 % mencapai tingkat pertumbuhan yang optimal. Lalu bagaimana polikultur ikan patin dengan ikan jenis lain selain jelawat? Menurut beberapa ahli perikanan, jenis-jenis ikan yang dipelihara bersama ikan patin tidak harus mempunyai sifat dan kebiasaan yang berbeda.Itu artinya, pemeliharaan ikan patin secara polikultur bisa dilakukan dengan jenis ikan apa saja. Namun, sebaiknya dilakukan beberapa percobaan untuk mendapatkan kombinasi pemeliharaan yang sesuai dan menguntungkan secara ekonomis.
Perlu diperhatikan bahwa pemeliharaan polikultur memerlukan kolam yang berukuran lebih luas daripada kolam monokultur. Ukuran ideal kolam untuk polikultur berkisar antara 2.000 - 4.000 m2. Kolam polikultur dengan ukuran kurang dari 2.000 m2 cenderung memperlambat pertumbuhan ikan yang dipelihara, sedangkan kolam dengan luas lebih dari 4.000 m2 akan menyulitkan pengisian air, pengeringan kolam, pengontrolan, dan pemanenan ikan. Perlakuan dan cara pemeliharaan polikultur hampir sama dengan monokultur. Bedanya, pemanenan ikan pada pemeliharaan polikultur memerlukan kerja tambahan untuk memisahkan masing-masing jenis ikan. Semua jenis ikan diusahakan memperoleh perlakuan yang baik pada saat panen sehingga hasil panennya tetap berkualitas baik.
VI
PEMBESARAN IKAN PATIN DI JALA APUNG
Kegiatan pembesaran ikan patin di jala apung masih tergolong relatif baru. Disebut relatif baru karena usaha pembesaran patin di jala apung baru berkembang setelah dua usaha pembesaran terdahulu yaitu pembesaran di kolam dan karamba. Namun, gejala yang ada di lapangan saat ini menunjukkan bahwa pembesaran patin di jala apung tak akan kalah ramai jika dibandingkan dengan pembesaran di kolam atau karamba.
Berdasarkan kenyataan yang ada pembesaran ikan di jala apung telah terbukti berhasil membongsorkan berbagai jenis ikan budi daya dalam waktu relatif singkat. Sebagai contoh, ikan mas berukuran 100 g/ekor yang dipelihara selama 4 bulan di jala apung bisa mencapai 500 g/ekor. Sebelum usaha pembesaran patin di jala apung ini diujicobakan pertama kali, para ahli perikanan sudah sangat yakin bahwa usaha ini bakal sukses. Pasalnya, kalau ditinjau dari sifat biologis patin yang menyenangi air tenang dan asal-usul patin yaitu dari perairan umum, tentunya ikan patin sangat cocok bila dipelihara dalam jala apung. Sesuai dengan perjalanan waktu, sukses pembesaran patin di jala apung tidak hanya terbatas pada pemeliharaan yang dilakukan di jala apung, waduk, atau pun danau. Di Thailand malah pernah dicoba pembesaran patin di jala apung yang dipasang di sungai berarus lambat yang menyerupai habitat asli patin. Hasilnya, diperoleh laju pertumbuhan tertinggi. Di Indonesia, cara pembesaran patin di sungai dengan karamba banyak dilakukan di sungai Musi, Sumatera Selatan.
A. Lokasi Pemeliharaan
Seperti sudah disinggung di atas, lokasi pembesaran di jala apung bisa dilakukan di empat lokasi yaitu waduk, situ, danau, dan sungai. Jumlah waduk di Indonesia, terutama di pulau Jawa, yang merupakan genangan air yang terbentuk akibat pembendungan aliran sungai jumlahnya sangat banyak. Sementara danau yang juga berupa genangan air, tetapi terbentuk secara alami terdapat di semua pulau besar di Indonesia. Situ yang merupakan genangan air alami yang lebih kecil daripada danau juga ada di banyak tempat. Apalagi sungai, ada di mana-mana. Total luas perairan waduk dan danau di Indonesia sekitar 1,8 juta ha.
Tidak semua perairan umum dapat digunakan untuk memelihara patin. Ada pilihan-pilihan tertentu berdasarkan beberapa kriteria secara teknis maupun ekonomis. Pemeliharaan akan di sungai didasarkan pada prioritas. Pilihan utama tentunya tertuju pada sungai yang berair tenang, setelah itu baru menyusul faktor-faktor lainnya. Beberapa waduk yang sudah banyak dimanfaatkan untuk usaha pembesaran beberapa jenis ikan di jala apung antara lain Waduk Saguling, Cirata, Jatiluhur, Kedungombo, Gajah Mungkur, Wadas Lintang, Mrica. Total luasnya diperkirakan mencapai 50.000 ha. Beberapa danau yang cukup potensial di antaranya adalah Danau Laut Tawar, Danau Toba, Danau Maninjau, Danau Singkarak, Danau Ranau, Danau Kerinci, Danau Tempo, Danau Tondano, Danau Peso, Danau Limboto, Danau Beratan. Dinyatakan 1,6 % dari luas perairan umum tersebut dapat dimanfaatkan untuk pemeliharaan ikan di jala apung.
B. Penggunaan Jala Apung
Jala apung yang digunakan untuk pembesaran patin ini sebenarnya sama dengan jala apung yang digunakan untuk pembesaran ikan jenis lainnya. Entah karena kemudahan atau pengaruh bahasa setempat, akhimya banyak nama yang dipakai
Rakit/bamboo tempat pemasangan jala apung. Rakit ini dapat untuk
Memasang empat kantong jarring berukuran 4 m x 4 m x 2 m.
untuk menyebut jala apung. Sebutan itu di antaranya kantong jaring terapung, karamba jaring apung (kajapung), karamba kolam terapung; jaring karamba terapung (jakapung).
Pemakaian nama karamba kadang kala merancukan, terutama bagi orang yang belum paham betui perbedaannya dengan karamba yang sebenarnya. Untuk lebih mudah memahami perbedaannya dengan karamba, hal ini bisa ditelusuri dari bahan pembuatnya. Karamba terbuat dari bambu, kayu, atau pun kawat. Sementara kantong jaring apung terbuat dari bahan nilon yang dijurai (seperti jaring) yang dibuat membentuk kantong.
Ukuran kantong jala apung yang digunakan untuk pembesaran patin tidak mempunyai kriteria khusus. Kita bisa saja menggunakan kantong berukuran kecil misalnya 2 m x 2 m x 2 m atau sampai ukuran besar 9 m x 9 m x 2 m, tergantung pada luas tempat, jumlah ikan yang dipelihara, dan kemampuan permodalan. Ukuran benang jaring tergantung pada ukuran ikan yang akan dipelihara. Namun, karena patin tergolong ikan yang mempunyai tenaga cukup kuat maka sebaiknya digunakan jarring polietilen nomor 240 D/12 dengan besar mata jaring 1 inchi (2,5 cm).
Rakit bamboo sebagai tempat pemasangan jarring apung. Tampak
Pelampung terpasang di bawahnya untuk menjaga agar rakit tetap terapung.
Jala apung harus dibuat sendiri karena selama ini belum ada jaring apung siap pakai yang dijual. Artinya, dari bahan jaring tersebut dibuat kantong-kantong jala apung. Pekerjaan pembuatan jala apung juga bukan pekerjaan yang relatif mudah, melainkan memerlukan ketelitian dan keahlian agar kantong yang terbentuk sesuai dengan yang dikehendaki. Setelah itu, barulah dibuat rakit berupa kerangka tempat pemasangan jala apung.
Pembuatan rakit tempat jala apung untuk pembesaran patin tidak mempunyai kriteria khusus. Pembuatan rakit ini dapat mencontoh rakit tempat jala apung untuk ikan jenis lainnya.
Rakit dapat pula dibuat dari pipa besi. Untuk mempermudah pengontrolan,
Rakit besi dilengkapi papan pijakan
Bahan rakit dapat terbuat dari bambu, kayu, besi siku, atau pipa besi. Bahan berupa bambu dan kayu relatif murah, tetapi tidak tahan lama. Sebaliknya, bahan dari besi lebih kokoh dan awet, tetapi biayanya lebih mahal. Sementara bahan pelampung dapat menggunakan drum (bekas atau baru) berkapasitas 200 liter. Bahan pelampung lainnya yang juga lazim digunakan adalah drum plastik, jerigen plastik, atau ban bekas (ban mobil) yang diisi gabus stirofom. Bahan tambahan lainnya adalah jangkar untuk menahan rakit agar tidak hanyut di perairan, serta perlengkapan berupa gudang, rumah jaga, dan perahu untuk transportasi dari rakit ke darat atau sebaliknya.
Pemberat untuk menahan rakit, agar tidak hanyut.
Bahannya terbuat dari besi, semen, atau bungkusan batu.
C. Kondisi Perairan
Kondisi perairan tempat pembesaran patin akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kehidupan patin secara keseluruhan. Apabila pembesaran patin dilakukan dengan jala apung yang dipasang di sungai maka sebagai lokasi yang tepat yaitu sungai yang berarus lambat. Hal ini sesuai dengan sifat patin. Hal ini tidak berpengaruh pada pembesaran ikan patin di waduk, situ, atau danau karena arusnya tidak seperti arus air sungai. Meskipun begitu, penempatan jala apung di danau, situ, atau waduk sangat dianjurkan pada jalur arus horizontal yang umumnya terletak pada daerah muara sungai yang mengalir ke dalam waduk (daerah pemasukan). Tujuannya, agar patin selalu mendapat suplai air yang segar dengan kadar oksigen yang tinggi dan pergerakan arus akan membantu menghanyutkan kotoran.
Lalu bagaimana dengan perairan waduk yang tidak mempunyai arus? Apabila volume air waduk cukup besar maka da pak negatif dari pengaruh sisa pakan dan kotoran ikan tidak terlalu besar, asalkan areal pemeliharaan tidak melebihi 1 % dari luas seluruh perairan. Pada kondisi perairan yang seperti ini, jala apung tempat pemeliharaan patin sebaiknya diletakkan di tengah perairan sejajar dengan garis pantai. Pada pemeliharan ikan patin di sungai atau waduk sebaiknya dihindari penempatan jala apung pada perairan yang luas dan terbuka. Alasannya, perairan terbuka memungkinkan terjadinya gelombang dan tiupan angin kencang yang mengancam keamanan jala apung. Kedalaman air juga perlu diperhatikan. Pada perairan yang mengalir, jala apung untuk ikan patin sebaiknya ditempatkan pada kedalaman minimal tiga meter. Sementara untuk perairan yang tidak mengalir, jala apung pembesaran patin ditempatkan pada kedalaman minimal lima meter.
D. Kualitas Air
Kualitas air sangat berhubungan erat dengan keselamatan dan kelangsungan hidup patin di jala apung. Meskipun beberapa persyaratan sudah bisa dipenuhi, tetapi bila kualitas air tidak mendukung maka usaha pembesaran patin tidak berjalan dengan baik. Oleh karena itu, kualitas air danau, waduk, atau situ dan sungai pun harus dipertimbangkan.
Kualitas air dalam hal ini tidak hanya meliputi sifat fisik, kimia, dan biologi.
1. Penilaian kualitas air secara biologi
Penilaian kualitas air secara biologi dilakukan dengan meninjau perairan itu dari tingkat kesuburannya. Tingkat kesuburan ini dikaitkan dengan sistem pemeliharaan dan kepadatan penebaran ikan. Tingkat kesuburan danau atau waduk dibagi menjadi tiga kategori, yaitu perairan yang tingkat kesuburannya rendah, sedang, dan tinggi. Derajat kesuburan ditentukan oleh kandungan plankton optimal.
Pemeliharaan patin sistem intensif dengan kepadatan penebaran tinggi sebaiknya dilakukan di perairan dengan tingkat kesuburannya rendah sampai sedang. Apabila pemeliharaan patin sistem intensif ini dilakukan di perairan yang mempunyai tingkat kesuburan tinggi maka pada malam hari ikan berisiko terhadap kekurangan oksigen. Hal ini terjadi karena ada perebutan oksigen antara ikan dengan plankton yang jumlahnya sangat banyak di perairan subur tersebut. Sebagai patokan, perairan yang aman bagi patin adalah perairan yang kandungan plankton optimalnya mempunyai nilai transparansi lebih dari 40 %. Cara mudah pengukurannya adalah dengan melihat tingkat kecerahannya. Transparansi lebih dari 40 % artinya sinar matahari masih dapat menembus sampai kedalaman lebih dari 40 cm.
2. Penilaian kualitas air secara kimia
Penilaian kualitas air secara kimia dilakukan berdasarkan kandungan beberapa parameter terlarut. Pengukuran kualitas air secara kimia ini memang agak rumit. Biasanya pengukuran ini dilakukan secara laboratorium.
Di beberapa danau atau waduk yang sudah dipasangi jala apung untuk pemeliharaan ikan biasanya ada pihak-pihak tertentu yang sudah melakukan pengukuran. Data hasil pengukuran tersebut dapat diminta kemudian dicocokkan dengan persyaratan minimal yang dibutuhkan bagi kehidupan patin. Untungnya, pembesaran ikan patin tidak membutuhkan spesifikasi kualitas air yang berbeda dengan ikan-ikan yang dipelihara di waduk. Untuk itu, data pada Tabel 6 berikut ini bias dijadikan patokan.
TABEL 6. KRITERIA KUALITAS AIR UNTUK BUCN DAYA IKAN DALAM KANTONG JARING TERAPUNG DI DANAU ATAU WADUK
Peubah Nilai Batas
Fisika
1.Suhu 2.Total padatan tertarut
3.Kecerahan
Kimia
1. pH (derajat keasaman) 2. Oksigen tertarut
3. Karbondioksida (CO,) bebas
4. Amoniak
5. Nitrit
6. Tembaga (Cu)
7. Seng (Zn)
8. Merkuri (Hg)
9. Timbal (Pb)
10. Klorin bebas (Cl)
11. Fenol
12. Sulfida (S)
13. Kadmium (Cd)
14. Flourida
15. Areenik (As)
16. Selenium (Se)
17. Krom Heksavalen (Cr+6)
18. Sianida (Cn)
19. Minyak dan lemak
20-30oC maksimal 2.000 mg/I
lebih dan 45 cm
6 - 9 maksimal 8 jam/hari minimal 3 mg/1
maksimal 15 mg/1
maksimal 0,016 mg/l
maksimal 0,2 mg/1
maksimal 0,02 mg/1
maksimal 0,02 mg/1
maksimal 0,002 mg/1
maksimal 0,3 mg/1
maksimal 0,003 mg/I
maksimal 0,001 mg/l
maksimal 0,002 mg/l
maksimal 0,01 mg/l
maksimal 1,5 mg/l
maksimal 1 mg/l
maksimal 0,05 mg/l
maksimal 0,05 mg/l
maksimal 0,02 mg/l
maksimal 1 mg/l
Sumber : Sukadi, MF, dkk, 1989
Perlu juga diketahui bahwa pembesaran patin dalam jala apung di waduk atau danau itu berisiko terhadap zat-zat pencemar yang bisa masuk ke perairan kapan saja. Bahan pencemar menyusup masuk ke lokasi budi daya melalui aliran air yang masuk atau karena adanya aktivitas industri di sekitar waduk maupun danau. Sebelum melakukan aktivitas pembesaran ikan patin, sebaiknya lingkungan sekitamya diamati terlebih dahulu.
Pada dasarnya, pencemaran yang disebabkan oleh limbah rumah tangga tidak terlalu membahayakan. Namun, pencemaran yang disebabkan oleh limbah industri biasanya sulit terurai. Bila limbah ini jumlahnya semakin banyak maka akan terjadi akumulasi yang berakibat langsung pada kondisi perairan. Cepat atau lambat, dampaknya akan dirasakan oleh ikan peliharaan.
Zat pencemar lainnya yang berpengaruh dan bereaksi lebih cepat adalah pestisida. Pestisida bisa masuk ke perairan secara tidak sengaja akibat aktivitas pertanian (penyemprotan hama) di bagian hulu atau pinggiran danau. Dalam pemeriksaan kualitas air dengan peralatan tertentu, kehadiran pestisida dapat dilacak.
E. Proses Pembesaran
Pembesaran patin di jala apung bisa dilakukan oleh siapa saja karena tidak ada persyaratan khusus yang membatasinya. Peternak yang sudah berpengalaman membesarkan ikan jenis lain di jala apung jelas akan mudah menerapkannya untuk pembesaran patin. Meskipun demikian, petemak pemula juga tidak perlu khawatir karena patin tidak menuntut perlakuan yang rumit. Agar usaha pembesaran tersebut berjalan mulus, beberapa langkah yang harus diperhatikan antara lain penebaran ikan, pemberian pakan, pengontrolan, dan pemanenan.
1. Penebaran benih
Begitu media jala apung selesai dipasang dan dinyatakan siap digunakan untuk pembesaran patin, bukan berarti benih ikan langsung ditebarkan. Tahap pra penebaran yang harus diperhatikan antara lain penentuan ukuran ikan patin yang akan ditebarkan dan kepadatan penebaran.
a. Penentuan ukuran ikan patin yang akan ditebarkan
Penentuan ukuran ikan yang akan ditebarkan berkaitan dengan ukuran mata jaring. Apabila penentuan ini salah maka ikan yang akan. ditebarkan justru dapat meloloskan diri. Kejadian ini sering kali karena ukuran tubuh ikan lebih kecil daripada lebar mata jaring. Oleh karena itu, ada patokan umum yang biasanya digunakan oleh peternak ikan untuk membesarkan ikan patin di jala apung. Penebaran ikan yang berukuran 50 - 100 g/ekor memerlukan mata jaring yang berukuran 2 inci. Apabila ukuran ikan lebih kecil maka mata jaring yang digunakan juga lebih kecil, misalnya ukuran 1 inci. Sebaliknya, untuk ikan yang berukuran lebih besar digunakan mata jaring yang lebih besar pula.
Kepadatan penebaran
Kepadatan penebaran merupakan keterkaitan antara jumlah ikan yang ditebarkan dengan daya tampung optimal dari jala apung. Ikan patin akan mencapai pertumbuhan yang optimal bila kepadatan penebarannya cocok. Namun, selama ini belum ada penelitian lengkap tentang kepadatan penebaran di jala apung untuk berbagai ukuran benih patin. Salah satu cara, meskipun tidak akurat, adalah dengan mengikuti kepadatan penebaran ikan yang biasa digunakan petani. Untuk ikan mas dan beberapa jenis ikan lainnya, kepadatan penebaran ini berkisar antara 5 - 10 kg/m3. Bila masih ragu-ragu, ada rumus tentang kepadatan penebaran, yaitu sebagai berikut.
Keterangan :
PPI = padat penebaran ikan (kg/m3)
BTP = berat total panen (kg/m3)
BRP = berat rata-rata produksi akhir (kg/ekor)
BRT = berat rata-rata penebaran (kg/ekor)
Rumus tersebut masih bersifat umum sehingga perlu pemikiran lebih lanjut untuk mencari kepadatan penebaran yang benar-benar pas bagi pemeliharaan ikan patin di jala apung. Namun, untuk sementara rumus itu sudah memadai.
Benih patin yang sudah siap ditebarkan tidak langsung dimasukkan ke dalam jala apung. Untuk itu, perlu suatu proses penyesuaian antara ikan dengan lingkungan yang baru (proses aklimatisasi). Langkah ini untuk mencegah agar ikan tidak stres. Karena itulah, penebaran benih patin ke jala apung disarankan pada saat kondisi perairan stabil yaitu pada pagi atau sore hari. Proses akiimatisasi minimal memerlukan waktu sekitar 10 menit. Caranya, benih patin yang berada di dalam kantong plastic (wadah pengangkutan) dibiarkan mengapung di atas air di jala apung. Setelah lima menit, kantong plastik itu dibuka kemudian air di tempat pembesaran (air di jala apung) sedikit demi sedikit dimasukkan ke wadah pengangkutan. Lama-kelamaan air perairan akan tercampur sempurna dengan air di wadah pengangkutan sehingga kondisinya menjadi sama. Proses aklimatisasi selesai apabila ikan di dalam wadah pengangkutan telah keluar dengan sendirinya dan selanjutnya hidup di jala apung.
2. Pemberian pakan
Dalam hal pakan, ada pertanyaan yang perlu disimak. Samakah pakan ikan patin yang dibesarkan di jala apung dengan pakan ikan patin yang dibesarkan di kolam? Bisakah pakan ikan jenis lainnya digunakan untuk pakan ikan patin? Pertanyaan seperti itu dapat dimaklumi karena saat ini belum ada pabrik yang menghasilkan pakan khusus untuk ikan patin, apalagi pakan khusus pembesaran patin di jala apung.
Dengan mempertimbangkan sifat biologis ikan patin, masalah itu sebenarnya mudah diselesaikan. Patin merupakan ikan omnivora (pemakan segala), tetapi cenderung ke arah karnivora (pemakan daging). Hal ini dibuktikan dengan kebiasaan patin di alam yang menjadikan udang renik (Crustacea), insekta, dan moluska sebagai makanan utamanya. Sementara makanan pelengkap ikan patin berupa Rotifera, ikan kecil, dan daun-daunan yang ada di perairan. Apabila dipelihara di jala apung, ikan patin temyata tidak menolak diberi pakan berupa pelet. Dengan pakan pelet ini, laju pertumbuhannya malah dapat dipacu lebih cepat.
Tidak ada pelet standar buatan pabrik yang dijual di pasaran untuk patin. Karena itulah, disarankan untuk menggunakan pelet yang biasa diberikan sebagai pakan ikan mas atau ikan lele. Namun, apabila tersedia waktu dan peralatan maka pakan untuk ikan patin ini dapat dibuat sendiri. Pakan ikan patin berupa pelet dapat disusun dengan komposisi tepung ikan 30 %, tepung kedelai 25 %, bungkil kelapa 25 %, dan dedak halus 20 %. Dengan komposisi seperti ini, kandungan protein pakan diperkirakan sekitar 20 %. Kandungan protein sebesar ini sudah cukup memadai untuk pembesaran patin.
Ada pula percobaan pemberian pakan ikan patin yang dibesarkan di jala apung. Rakan yang diberikan berkadar protein sekitar 30 %. Komposisi bahannya seperti pada Tabel 7.
TABEL 7. KOMPOSISI BAHAN DARI PAKAN BERKADAR Protein 30 %.
Bahan Jumlah (%)
Tepung kepala udang
Tepung kedelai
Dedak halus
Tepung terigu
Tepung pollard
Bungkil kelapa
Vitamin premix A
Mineral mix
Dikalsium fosfat 27
32
17
5
7
6
2
1
3
TABEL 8. KOMPOSISI NUTRISI DARI PAKAN BERKADAR PROTEIN 30 %
Komposisi Nutrisi (%)
Kadar air
Protein
Lemak
Abu
Serat kasar
BETN 9,69
32,88
5,26
16,26
2,86
42,74
Sumber : Evi Tarupai, dkk, 1993
Pemberian pakan dengan komposisi seperti Tabel 7. itu menghasilkan pertumbuhan patin yang lebih cepat. Namun, biaya yang dikeluarkan untuk pembuatan pakan ini tentu saja menjadi lebih mahal. Hal ini juga harus menjadi pertimbangan dalam menentukan jenis pakan yang akan digunakan.
Jumlah pakan yang diberikan dihitung berdasarkan berat total ikan. Perhitungan yang sangat sederhana adalah sebagai berikut :
a. Pada bulan pertama pemeliharaan, setiap hari pakan diberikan sebanyak 4 % atau maksimal 5 % dari berat total ikan di dalam jaring apung.
b. Pada bulan kedua, jumlah pakan yang diberikan dikurangi sehingga menjadi 3,5 %.
c. Bila pemeliharaan dilakukan lebih dari dua bulan maka pada bulan-bulan berikutnya jumlah pakan yang diberikan cukup 3 % saja dari berat total ikan setiap hari.
Penghitungan berat total ikan untuk menentukan jumlah pakan yang akan diberikan ini dilakukan melalui pengambilan sampel populasi. Pengambilan sampel ini dilakukan setiap 10 hari. Dari berat rata-rata ikan per ekor maka dapat diketahui pula berat totalnya setelah dikalikan dengan jumlah ikan yang ditebarkan. Misalnya, berat rata-rata ikan patin di jala apung 0,1 kg/ekor, sementara populasinya sebanyak 1.000 ekor dan jumlah pakan yang diberikan 4 %. Berdasarkan data itu maka jumlah pakan yang diberikan adalah (0,1 kg/ekor x 1.000 ekor) x 4 % = 4 kg/hari.
Pemberian pakan dilakukan tiga kali sehari, yaitu pada pagi, siang, dan malam hari. Khusus pada ikan patin, dosis pakan yang diberikan pada pagi dan siang hari tidak sama dengan dosis pakan yang diberikan pada malam hari. Pemberian pakan pada malam hari jumlahnya harus lebih banyak karena patin bersifat nokturnal (aktif mencari makan pada malam hari). Bila jumlah pakan yang diberikan per hari itu sebesar 4 % dari berat total maka porsi pemberiannya 1% untuk pagi hari, 1% untuk siang hari, dan 2% untuk malam hari.
Pemberian pakan pelet yang bersifat terapung memberikan hasil pertumbuhan yang lebih baik. Pakan tenggelam biasanya cepat hancur dalam air sehingga tidak dapat dimanfaatkan secara optimal oleh ikan patin. Apabila sulit mendapatkan pelet yang bersifat terapung maka satu-satunya cara adalah tetap memberikan pelet tenggelam, tetapi dasar jala apung harus rapat sehingga pelet tidak hilang ke dasar perairan. Namun, hal ini berisiko karena sisa pakan yang tidak dimanfaatkan akan menimbulkan polusi. Oleh karena itu, apabila dasar jala apung cukup rapat maka pada bagian-bagian tertentu dibuat lebih jarang.
Pemberian pakan dapat langsung ditebarkan ke dalam jala apung, tetapi ada juga yang diletakkan dalam wadah pakan. Cara pertama lebih cocok untuk ikan patin berukuran besar yang sudah lama dipelihara di jala apung. Sementara pemberian pakan yang menggunakan wadah pakan biasanya dilakukan untuk patin berukuran kecil atau pada saat pertama ikan tersebut dipelihara dalam jala apung. Untuk memperkecil kemungkinan pakan hanyut terbuang (terbawa arus), sebaiknya pakan ditebarkan di bagian tengah kantong jaring.
3. Pengontrolan
Ikan patin yang dibesarkan di jala apung juga memerlukan pengontrolan rutin. Pengontrolan ini dilakukan terhadap keadaan wadah budi daya (jala apung dan peralatannya), kualitas air, kesehatan ikan, maupun keamanan lingkungan.
Pengontrolan terhadap wadah budi daya perlu memperhatikan keutuhan jaring. Bila ada bagian-bagian jaring yang rusak atau putus, segera lakukan perbaikan. Apabila hal ini tidak dilakukan maka ikan akan segera lolos dari jaring atau hama dapat masuk dan memangsa ikan peliharaan dengan leluasa. Pengontrolan serupa juga perlu dilakukan untuk peralatan lainnya seperti pelampung, jangkar, dan tali-temali. Kerusakan jarring biasanya lebih banyak disebabkan oleh jasad penempel sehingga bila terlihat ada binatang tertentu yang menempel pada jarring segera dibuang. Sampah-sampah yang menempel juga akan mengganggu aliran air yang masuk ke dalam jaring.
Pijakan dari papan kayu disekeliling jarring apung akan
Mempermudah pengontrolan
Pengontrolan kualitas air bertujuan untuk memastikan bahwa air tersebut masih cocok bagi kehidupan ikan. Perlu diketahui, parameter perairan waduk atau danau itu rentan dan mudah berubah. Perubahan yang ekstrem (biasanya pada musim hujan) sangat membahayakan kehidupan ikan. Kadang kala pada musim hujan bisa terjadi pembalikan massa air yang biasa disebut sebagai umbulan. Umbulan seperti yang pernah terjadi di waduk Jati Luhur dapat menyebabkan kematian ikan karena air di lapisan dasar yang naik ke bagian atas perairan umumnya berkualitas buruk.
Berubahnya parameter air secara nyata dapat diamati pada tingkah laku ikan. Bila tingkah laku ikan gelisah berarti keadaan air tidak beres, misalnya kekurangan oksigen atau kemasukan zat pencemar maupun pestisida. Sebaiknya, secara rutin pada periode waktu tertentu dilakukan analisis kualitas air. Apabila keadaannya memang mengkhawatirkan maka segera dilakukan tindakan penyelamatan. Tindakan ini misalnya dengan memindahkan ikan ke tempat yang lebih aman.
Pengontrolan terhadap lingkungan sekitarnya bertujuan mengamankan ikan dari ancaman hama, seperti linsang (kucing air), ular, biawak, dan juga pencuri. Hal ini dilakukan karena ikan patin termasuk ikan mahal dan banyak dicari.
4. Pemanenan
Karena pemeliharaan ikan patin ini berorientasi komersial maka setelah ikan patin mencapai ukuran konsumsi dapat segera dipanen. Keputusan ini pun harus didasari pada survei pasar, yaitu ukuran ikan patin yang banyak diminati dan harga jual yang paling tinggi. Biasanya restoran-restoran tertentu mempunyai kriteria khusus mengenai ukuran ikan patin yang disukai konsumennya.
Lama pemeliharaan untuk mencapai ukuran konsumsi itu tergantung pada ukuran ikan yang ditebarkan. Semakin besar ukuran ikan yang ditebarkan maka semakin singkat masa pemeliharaannya. Menurut hasil penelitian, bila diberikan pakan yang berkualitas baik maka laju pertumbuhan ikan patin rata-rata sebesar 0,57 g/hari.
Pemanenan ikan patin mirip dengan pemanenan ikan lele. Pemanenan ini dapat dilakukan secara total meliputi seluruh ikan yang ada di dalam jala apung atau secara selektif hanya untuk ikan ukuran tertentu saja. Pemanenan selektif ini dilakukan bila pertumbuhan ikan diketahui tidak seragam.
Beberapa tahap dalam proses pemanenan ikan patin dilakukan dengan cara berikut :
1. Mula-mula dipersiapkan wadah penampungan ikan hasil panenan. Wadah penampungan ini berupa jaring apung yang ukurannya jauh lebih kecil daripada wadah budi daya. Wadah penampungan ini untuk menampung ikan sementara. Dari wadah ini, ikan dengan leluasa dapat dipindahkan ke wadah lain, misalnya ember atau bak fiber glass. Selanjutnya, ikan dalam wadah ini siap ditransportasikan,
2. Bila wadah penampungan sudah tersedia, pemanenan ikan dapat segera dilakukan.
3. Ruang gerak ikan dipersempit. Caranya, ikan digiring ke salah satu pqjok jaring dengan mengangkat dan menggulung pojok lainnya.
4. Ikan yang sudah terkumpul di pojok dapat ditangkap dengan serok bertangkai panjang.
5. Ikan hasil panenan ini dimasukkan ke dalam wadah lain, misalnya ember atau bak fiber glass.
Selama pemanenan berlangsung, diusahakan agar ikan tidak rusak atau mengalami luka memar apalagi mati. Apabila panen dilakukan secara ceroboh maka mutu ikan menjadi menurun dan harga jual pun menjadi rendah. Oleh karena itu, pada saat ikan diangkut ke pasar harus tetap dalam keadaan hidup dan dalam kondisi segar.
VII
PEMBESARAN IKAN PATIN SISTEM PEN
Pembesaran ikan patin sistem pen adalah alternatif lain pemanfaatan perairan umum selain dengan karamba dan jala apung. Usaha pembesaran patin dengan cara ini belum banyak berkembang di Indonesia sehingga kurang populer di kalangan petemak ikan. Bagi orang awam istilah system pen terasa asing. Padahal sistem pen ini sama saja dengan pemeliharaan sistem hampang/sekat yang sudah sangat terkenal dan bertahun-tahun digeluti petemak ikan di berbagai daerah di tanah air.
Pemeliharaan ikan patin sistem pen pada dasarnya adalah upaya pemanfaatan bagian-bagian tertentu dari perairan umum seperti sungai, danau, atau waduk. Rameliharaan ikan sistem pen ini berbeda dengan pembesaran ikan di jala apung. Pada pembesaran di jala apung, jala tempat budi daya dipasang mengapung di atas air. Sementara pada pembesaran sistem pen, bagian-bagian tertentu misalnya pojokan atau bagian pinggir perairan yang ada oekungannya (tduk hedl) bngsung dimanfaatkan. Bagian perairan yang terpilih ini dipagari bambu atau kawat sehingga terbentuk hampang/sekat yang di dalamnya dapat dijadikan tempat untuk memelihara ikan. Sistem pen yang memasyarakat adalah yang dilakukan di sungai. Secara luas, hal ini lebih dikenal sebagai "pemeliharaan ikan di saluran irigasi".
Pembesaran ikan sistem pen ini mempunyai kelebihan karena menjadi alternatif bagi orang yang tidak mempunyai lahan (kolam) dan juga menguntungkan secara teknis maupun ekonomis. Pembesaran patin dengan sistem pen memberikan nilai tambah yang tidak dimiliki oleh pemeliharaan di jala apung. Salah satunya adalah kepadatan penebaran ikan pada pembesaran sistem pen dapat ditingkatkan karena ikan memperoleh kecukupan oksigen dari air yang mengalir. Apalagi apabila sistem pen tersebut dipasang di sungai. Karena pemeliharaan ini langsung dilakukan di alam maka tidak heran bila patin yang dibesarkan di sistem pen dapat tumbuh lebih cepat dan bergerak lebih bebas karena seperti berada di alamriya sendiri.
A. Pemilihan Lokasi
Pemilihan lokasi untuk sistem pen tidak boleh dilakukan serampangan. Sebelumnya harus diteliti secara cermat bagian waduk maupun danau yang layak diberi sekat sebagai lokasi untuk sistem pen.
Pemilihan lokasi untuk sistem pen di saluran irigasi agak mudah karena saluran irigasi relatif sempit dan bentuknya lebih teratur. Bahkan ada pula saluran irigasi yang sudah ditembok atau dibeton. Sekat tinggal dipasang pada saluran irigasi ini di bagian hulu dan sekat lainnya di bagian hilir. Setelah itu, barulah ikan ditebarkan. Secara umum, beberapa hal yang menjadi pertimbangan pemilihan lokasi adalah kedalaman air, sumber air, bentuk dasar perairan, perlindungan dari hantaman arus yang kuat, dan juga segi keamanannya.
Lokasi yang bagus untuk beberapa jenis lokasi pemeliharaan ikan patin adalah sebagai berikut :
1. Apabila pemeliharaan ikan dilakukan di danau atau waduk, sebaiknya dipilih lokasi pemeliharaan pada bagian teluk yang terlindung.
2. Apabila pemeliharaan ikan dilakukan di sungai, sebaiknya dipilih sungai yang berarus relatif lambat dan bebas dari ancaman banjir bandang.
3. Apabila pemeliharaan ikan dilakukan di saluran irigasi, sebaiknya dipilih saluran irigasi yang mempunyai pintu pengendali banjir di bagian hulu maupun di bagian-bagian tertentu. Akan lebih baik lagi bila lingkungan di sekitarnya bersih dari semak-semak belukar.
B. Kualitas Air
Karena merupakan perairan umum maka kendala yang akan dihadapi pada pemeliharan sistem pen nantinya relative sama dengan kendala yang ditemui pada pembesaran patin di jala apung. Dalam hal ini persoalan yang paling mendasar tentu saja menyangkut kualitas dan kuantitas perairan.
Lokasi yang bebas banjir memang sulit diperoleh. Namun, apabila pemeliharaan ikan dilakukan di saluran irigasi teknis maka hal ini bisa diantisipasi dengan adanya pintu pengendali banjir. Lain lagi bila pemeliharaan ikan dilakukan di danau, waduk, maupun sungai, hal ini dapat diketahui dengan melakukan survei atau menanyakan langsung kepada pihak yang terkait. Apabila ternyata saluran irigasi itu rawan banjir maka sebaiknya pemasangan sistem pen dipertimbangkan lagi atau dicari lagi lokasi lain yang lebih cocok.
Kedalaman air berhubungan dengan sifat ikan dan kemudahan pengeloiaan. Ikan patin dapat hidup dalam sistem pen dengan baik pada air yang mempunyai kedalaman 50 - 100 cm. Kedalaman air 2 m sebenarnya masih cukup baik, tetapi pembuatan sistem pen pada lokasi seperti ini membutuhkan bahan yang lebih panjang dan tentu saja menambah biaya investasi. Selain itu, pengontrolan dan pemanenan hasil nantinya akan lebih sulit.
Khusus pada pemeliharaan ikan di sungai maupun saluran irigasi, aliran air sebaiknya tidak terlalu kencang (cepat). Kecepatan aliran air cukup sekitar 30 liter per detik atau lebih pelan dari itu karena patin lebih menyukai sungai yang relatif tenang.
Kecerahan dan kekeruhan air juga harus diperhatikan. Kecerahan yang baik untuk kehidupan patin adalah 25 - 40 cm. Pada tingkat kecerahan sebesar itu, jumlah cahaya matahari yang masuk ke perairan cukup untuk proses fotosintesis yang seimbang. Selain itu, jumlah fitoplankton pada perairan tersebut biasanya sudah berada pada tingkat yang cukup memadai untuk kehidupan biota perairan.
Perairan yang lebih keruh (tingkat kecerahannya rendah) akan mempengaruhi proses keseimbangan kehidupan di perairan tersebut. Selain itu, ikan patin kemungkinan akan menderita karena adanya partikel-partikel lumpur yang masuk ke insangnya. Air yang keruh juga dapat menjadi penghambat bagi patin dalam mencari makanan. Pakan yang diberikan kemungkinan tidak terlihat sehingga akhirnya lolos terbawa arus.
Kecerahan perairan untuk pemeliharaan patin dapat ditentukan dengan mudah. Caranya, tangan dicelupkan sebatas siku ke dalam air. Bila telapak tangan yang dihadapkan ke atas masih terlihat, itu tandanya perairan tersebut memiliki kecerahan yang baik untuk kehidupan patin. Adapun cara yang lebih akurat yaitu dengan menggunakan alat keping seed (secchi disk). Kualitas air secara biologis dan kimiawi yang dibutuhkan ikan patin pada pembesaran di sistem pen, sama dengan kualitas air pada pemeliharaan di jala apung.
Apabila tersedia peralatan untuk mengukur kualitas air yang memadai maka kualitas air bisa diketahui secara periodik. Namun, bila peralatan yang tersedia terbatas maka yang bisa dilakukan hanyalah pengukuran suhu dan kecerahan. Sementara parameter oksigen dan zat-zat kimia terlarut lainnya hanya dapat dilihat melalui gejala yang ditimbulkan pada ikan patin yang dipelihara. Apabila ikan tampak gelisah dan sering muncul ke permukaan air maka hal ini hams dicurigai karena kemungkinan perairan tersebut kekurangan oksigen. Bila ada ikan yang sekarat atau bahkan mati dalam jumlah yang lebih banyak, barangkali perairan sudah tercemar. Bila tidak bisa mendapatkan aliran air baru maka satu-satunya langkah untuk menyelamatkan ikan yaitu dengan memindahkan ikan ke lokasi lain.
C. Penerapan Sistem Pen
Pen yang disebut pula hampang atau sekat ada beberapa macam. Pen di danau, waduk, dan sungai biasanya digunakan bambu atau kawat. Sementara pen di saluran irigasi lebih sederhana, yaitu sekat dibuat pada bagian hulu dan hilir. Bahan sekat ini dapat berupa bambu, kayu, bahkan besi.
Pen di waduk, danau, atau sungai sekilas lebih mirip dengan kurungan krei. Antara satu bambu dengan bambu lainnya, pen ini sebaiknya memang dianyam seperti krei. Bentuknya bisa bermacam-macam tergantung pada kondisi perairannya. Bila ada teluk, pen tinggal dipasang di bagian depannya saja. Sementara, bila perairannya terbuka maka pen dibuat seperti kurungan. Pen ini dapat berbentuk lingkaran, segi empat, segi tiga dll.
Karena ikan patin tergolong ikan berukuran besar maka pen atau hampang harus dibuat kokoh agar tidak mudah diterobos. Caranya, pen diberi kerangka atau tiang penyangga pada jarak tertentu. Tiang penyangga ini sekaligus berfungsi sebagai tempat mengikatkan pen bambu.
Jarak antarbilah bambu atau jeruji ditentukan oleh ukuran ikan patin yang akan dipelihara. Bila pembesaran patin dimulai dari benih berukuran kecil (ukuran 10 cm atau bobot tubuh 50 - 75 g/ekor) maka jarak antarjeruji kira-kira 2 cm. Namun, bila patin yang dipelihara dimulai dari bibit yang lebih besar maka jarak antarjeruji bisa dijarangkan. Jarak antar teruji yang ideal tidak hanya menjaga ikan agar tidak lolos, tetapi juga untuk memudahkan sirkulasi air.
Pemeliharaan ikan pada saluran irigasi yang terlalu lebar akan menyulitkan pemasangan pen (sekat). Selain itu, pengelolaan dan pengontrolannya pun lebih repot. Sebaliknya, pemeliharaan ikan pada saluran irigasi yang terlalu sempit akan mengakibatkan ikan patin tidak betah karena keterbatasan ruang gerak. Pemasangan pen di saluran irigasi ini diusahakan secara melintang (horizontal). Hal ini dimaksudkan agar sampah atau kotoran lainnya mudah lolos ke bagian hilir.
D. Penebaran Benih
Ketersediaan oksigen terlarut pada pemeliharaan system pen, terutama di sungai dan saluran irigasi, lebih besar. Meskipun demikian, penebaran benih ikan patin tetap tidak boleh
dalam jumlah besar. Hingga kini, penelitian mengenai kepadatan penebaran yang ideal bagi patin yang dipelihara di dalam pen, belum menghasilkan data yang pasti. Oleh karena itu, kepadatan penebaran ini dianjurkan mengikuti kepadatan penebaran ikan yang dipelihara di jala apung. Dapat pula dicoba kepadatan penebaran secara umum yang berlaku di saluran irigasi yaitu 0,5 - 2 kg/m2 dengan ukuran ikan yang ditebarkan 50 - 75 g/ekor. Bila ukuran ikan yang ditebarkan lebih besar maka kepadatan penebarannya dikurangi. Sebaiknya dilakukan beberapa percobaan terhadap kepadatan penebaran sehingga jumlah ikan yang ditebarkan benar-benar pas pada kondisi perairan setempat.
Pada sistem pen yang dipasang di dalam air yang mengalir seperti di sungai atau saluran irigasi maka penebaran bibit patin sebaiknya dilakukan di bagian hulu. Tindakan ini akan memberi peluang bagi bibit patin yang mengalami stres atau lemas selama pengangkutan untuk menyelamatkan diri pada saat terbawa arus ke bagian hilir.
Ikan patin yang masih cukup sehat biasanya akan bereaksi jika terbawa arus akan segera bereaksi. Bila terjadi sebaliknya (patin hanyut terbawa arus) maka ikan itu sebaiknya segera diambil dan dimasukkan ke dalam wadah baskom. Apabila ikan itu bisa sehat dan kondisinya segar kembali maka masih dapat ditebarkan. Untuk menghindari stres dan mempercepat proses aklimatisasi (penyesuaian dengan lingkungan) maka penebaran ikan tetap dianjurkan pada pagi atau sore hari. Pada saat itu, suhu air danau, waduk, atau sungai dalam keadaan stabil.
E. Pemberian Pakan
Ada anggapan bahwa patin yang dipelihara di sistem pen pada saluran irigasi dan sungai memperoleh makanan alami lebih banyak jika dibandingkan dengan patin yang dipelihara pada sistem pen di danau atau waduk. Anggapan ini ada benarnya karena umumnya aliran air membawa bahan-bahan yang terhanyut dari hulu. Sebagian dari bahan yang terhanyut ini dapat menjadi santapan bagi ikan patin.
Pembesaran patin bersifat komersial sehingga pemberian pakan tambahan berupa pelet mutlak dilakukan. Pada sistem pen di danau atau waduk, pemberian pakan dapat mengikuti cara pemberian pakan pada jala apung yaitu dengan cara disebarkan langsung. Sementara untuk sistem pen di sungai yang mempunyai aliran air lebih lambat, ada yang mencoba memberikan pakan pada tempat pakan khusus yang digantung. Tindakan ini dapat menyelamatkan pakan yang belum dimakan ikan agar pakan itu tidak hanyut ke bagian hilir.
Lain lagi dengan pemeliharaan ikan di saluran irigasi yang mempunyai aliran air relatif cepat. Pemberian pakan dalam hal ini dilakukan pada bagian hulu. Diusahakan ada tempat-tempat tertentu yang aimya mengalir agak lambat. Tempat itu sebagai tempat yang tetap untuk memberikan pakan sehingga pakan dapat dimanfaatkan secara optimal.
Tidak ada perbedaan yang mendasar terhadap jumlah pakan dan jadwal pemberian pakan antara ikan patin yang dibesarkan di sistem pen dengan di jala apung. Oleh karena itu, pemberian pakan untuk ikan patin yang dipelihara di system pen pun dapat menyontoh cara pemeliharaan di jala apung.
F. Pengontrolan
Pada pemeliharaan sistem pen, pengontrolan dapat dianggap sebagai kegiatan yang melelahkan. Pengontrolan ikan pada pemeliharaan sistem pen lebih repot daripada pengontrolan ikan di jala apung. Hal ini dapat dimaklumi karena pada pemeliharaan sistem pen ikan lebih menyatu dengan alam perairan umum sehingga risiko yang dihadapi akan semakin besar pula. Pada periode tertentu disarankan dilakukan kontrol populasi. Kontrol populasi akan memberi gambaran terhadap keadaan ikan secara keseluruhan. Bila diketahui populasi patin dalam sistem pen berkurang, dugaan yang paling utama adalah kemungkinan ikan meloloskan diri melalui bagian-bagian tertentu pada hampang atau jeruji. Untuk itu, sekat atau hampang itu segera ditelusuri, barangkali ada bagian yang rusak atau kurang rapat.
Berkurangnya populasi patin juga bisa disebabkan oleh hama yang menyusup masuk ke sistem pen. Hama tersebut kemungkinan berupa hama yang menetap misalnya ikan pemangsa atau ular yang bersarang di situ. Hama yang tidak menetap dapat berupa kucing air (linsang), biawak, dan juga pencuri. Pencegahannya dapat dilakukan dengan mengeluarkan hama tersebut dari dalam pen. Untuk berjaga-jaga, lingkungan sekitar pen dibersihkan dari tumbuhan liar yang mungkin dijadikan sarang bagi hama tadi.
Pengontrolan perlu ditingkatkan pada musim hujan. Kekhawatiran yang paling besar pada musim hujan adalah datangnya banjir. Pada musim hujan, volume air yang masuk ke danau, waduk, maupun sungai sangat banyak sehingga permukaan air akan naik. Apabila hal ini terjadi maka ikan segera diselamatkan. Seandainya langkah penyelamatan ini terlambat, air bisa luber dan pen akan tenggelam.
Kondisi pemeliharaan ikan pada saluran irigasi relatif aman jika dibandingkan dengan pemeliharaan di danau maupun waduk. Apabila air mulai besar maka pintu pengendali banjir pada saluran irigasi segera ditutup sehingga aliran air. Bisa dibendung. Meskipun demikian, sampah-sampah akan lebih banyak hanyut terbawa air dan tersangkut pada sekat. Sampah yang tertahan ini segera diangkat sehingga tidak sempat menumpuk.
G. Pemanenan
Masa pemeliharaan di sistem pen bisa diakhiri bila ikan patin yang dipelihara mencapai bobot tertentu. Secara umum, lama pemeliharaan di sistem pen sekitar enam bulan. Selama masa pemeliharaan tersebut diharapkan patin mengalami pertumbuhan yang pesat. Semakin besar ukuran ikan pada saat ditebarkan, semakin besar pula ukuran patin yang bisa dipanen. Pertimbangan ini dikaitkan dengan permintaan pasar.
Ikan patin yang dipelihara di sistem pen juga bisa dipanen secara selektif atau dipanen total (semua sekaligus). Pemanenan ikan di sistem pen sedikit lebih sulit karena ikan tidak dapat dikumpulkan pada suatu bagian tertentu hanya dengan menggulung jala apung.
Mulut ikan pating terluka. Biasanya hal ini terjadi pada pemanenan
Dengan cara di jala
Pemanenan ikan pada pemeliharaan sistem pen dilakukan dengan menggiring ikan. Penggiringan ikan ini dibantu dengan kere yang dipasang dengan posisi melintang pada lokasi pemeliharaan segi empat atau dengan posisi melengkung pada pemeliharaan di lokasi menyerupai lingkaran. Ikan-ikan yang tergiring itu lambat-laun akan terpojok. Dari sinilah kemudian ikan tersebut diserok atau ditangkap dengan tangan. Ikan juga dapat dipanen dengan cara dijala. Pemanenan seperti ini biasanya menyebabkan ikan luka-luka sehingga menurunkan kualitas.
Pemanenan ikan patin yang dipelihara di saluran irigasi lebih unik. Pemanenan ini dimulai di bagian hilir kemudian bergerak ke bagian hulu. Jadi, bila ikan didorong dengan kere maka ikan patin akan terpojok pada bagian hulu. Pemanenan seperti ini menguntungkan karena ikan tetap mendapatkan air yang segar sehingga kematian ikan dapat dihindari.
Ikan patin mengalami kelelahan sesaat setelah dipanen. Sebaiknya
Diletakan dibagian air yang mengalir agar segar kembali
Biasanya dasar perairan danau atau waduk tempat system pen diletakkan berupa lumpur. Oleh karena itu, pekerjaan pemanenan ikan patin sebaiknya dilakukan oleh beberapa orang saja agar air tidak cepat keruh. Air yang terlalu keruh pada saat panen dapat membahayakan ikan. Untuk menjaga mutu hasil panenan, ikan patin yang telah tertangkap segera ditampung dalam wadah berupa kantong jaring yang diletakkan di bagian air yang mengalir. Dengan demikian, kondisi ikan yang kecapaian karena dikejar-kejar pada saat panen dapat menjadi pulih kembali.
VIII
PEMBESARAN IKAN PATIN DI KARAMBA
Karamba merupakan salah satu tempat pemeliharaan ikan yang cukup populer. Bentuknya kotak dan terbuat dari bambu. Karamba ini banyak ditemukan di wilayah Pasundan dan sekitarnya (Bandung, Bogor, Cianjur). Tingginya antusias masyarakat sepanjang sungai di daerah Pasundan dan sekitarnya untuk memelihara ikan dalam karamba sebenarnya bertitik tolak dari kurangnya lahan budi daya seperti kolam. Pemanfaatan sungai untuk karamba berarti juga upaya lain untuk mengoptimalkan manfaat perairan umum. Bagi peminat usaha pembesaran patin, dasar pemikiran seperti ini pun bisa dijadikan titik tolak untuk memulai usaha.
Secara umum, budi daya ikan dalam karamba telah dimulai sejak tahun 1940-an. Sampai kini, jenis ikan yang dipelihara di karamba masih didominasi oleh ikan mas. Khusus untuk ikan patin, penelitian pembesaran di karamba dilakukan oleh peneliti dari Balai Penelitian Perikanan Air Tawar pada tahun 1993. Hasilnya cukup menggembirakan, benih patin berukuran 165,6 g/ekor yang ditebarkan, selama masa pemeliharaan 4,5 bulan dapat tumbuh menjadi 685,1 g. Sayangnya, publikasi tentang keberhasilan tersebut tidak banyak sehingga gemanya tidak sampai ke telinga peternak ikan sistem karamba di pelosok daerah. Padahal, antusias masyarakat untuk membesarkan ikan patin di karamba cukup tinggi.
Bagi peminat usaha pembesaran ikan patin di karamba tidak perlu kecewa bila di sekitar tempat tinggalnya tidak terdapat sungai sebagai tempat untuk meletakkan karamba. Karamba untuk pembesaran ikan patin sebenarnya dapat juga diletakkan di waduk atau danau.
Bahan untuk membuat karamba dapat berupa bamboo bilah, kayu, atau kawat. Peternak ikan umumnya menggunakan bahan karamba dari bambu berkerangka kayu dengan ukuran bervariasi. Sebenarnya banyak keuntungan yang bisa diperoleh bila ikan patin dibesarkan di karamba. Pada pembesaran di karamba, ikan patin dapat hidup seperti di habitat aslinya meskipun tidak mutlak sama. Dengan demikian, aktivitasnya tidak terhambat. Keuntungan lain pembesaran ikan patin di karamba adalah sebagai berikut.
1. Ikan patin yang dibesarkan di karamba akan terhindar dari gangguan hama maupun gangguan lainnya yang sering menimbulkan kerugian dalam kegiatan usaha.
2. Pengawasan terhadap per.tumbuhan dan kesehatan ikan dapat dilakukan dengan mudah sehingga setiap ditemukan gejala yang tidak menguntungkan dapat segera ditanggulangi.
3. Kebutuhan oksigen bagi ikan patin dapat terpenuhi karena pergantian air berlangsung setiap saat. Dengan demikian laju pertumbuhan dan derajat kesehatan patin mencapai optimal.
4. Sisa makanan dan kotoran hasil metabolisme dapat segera hanyut melalui aliran air sehingga tidak timbul kekhawatiran terhadap tingginya kadar amoniak maupun zat racun lainnya yang akan menghambat laju pertumbuhan.
5. Pemanenan ikan dapat dilakukan dengan mudah sehingga menghemat waktu dan tenaga.
A. Pemilihan Lokasi
Selain ditempatkan di sungai, karamba juga dapat ditempatkan di danau atau waduk. Berdasarkan letaknya di dalam perairan (di sungai, danau, atau waduk), karamba dibagi menjadi tiga jenis, yaitu karamba yang diletakkan di dasar perairan, karamba yang diletakkan di bawah permukaan air, dan karamba yang diletakkan di atas permukaan air.
1. Karamba di dasar perairan
Dalam prakteknya, karamba di dasar perairan ini dibagi menjadi dua jenis, yaitu karamba yang diletakkan di dasar perairan dan karamba yang ditanam di dasar perairan. Karamba di dasar perairan ini umumnya digunakan pada perairan yang sempit dan tidak terlalu dalam, seperti pada sungai-sungai kecil atau saluran yang lebamya tidak lebih dari dua meter. Karamba ini lebih cocok ditempatkan di sungai atau saluran air yang dasar perairannya agak keras sehingga tidak mudah terbawa arus (bila arusnya deras). Bila dasar perairannya keras, pada pembangunan karamba tidak perlu dibuat dasar karamba lagi karena dasar perairan tersebut dapat dijadikan alas.
Karamba tipe ini dibangun dengan cara menanamkan ujung-ujung kerangka karamba ke dasar perairan maupun ke tebing sungai atau saluran air. Oleh karena itu, perlu diperhatian bahwa ukuran kerangka karamba yang dibuat harus lebih besar. Misalnya, ukuran karamba yang diinginkan adalah 3 m x 2 m x 1 m maka kerangka karambanya harus mempunyai ukuran 3 m x 2,40 m x 1,2 m. Kerangka karamba yang tertanam di dasar adalah sepanjang 20 cm. Bidang permukaan karamba sebelah atas diusahakan berada 20 cm di bawah permukaan air. Untuk karamba yang seluruhnya ditanam di dasar perairan lebih tepat digunakan pada sungai-sungai atau saluran air yang dangkal dengan dasar perairan yang agak keras. Bagi lingkungan sekitar, penempatan karamba dengan cara ditanam secara keseluruhan ini sangat menguntungkan karena tidak mengganggu aliran air dan tidak menyebabkan "terjaringnya" sampah yang terhanyut.
2. Karamba di bawah permukaan air
Karamba di bawah permukaan air sedikit berbeda dengan karamba yang diletakkan di dasar perairan. Bagian atas karamba di bawah permukaan air tidak menonjol, apalagi nongol ke permukaan air. Sebaliknya, bagian dasarnya tidak ditanam seperti karamba di dasar perairan, tetapi diletakkan begitu saja di dasar perairan. Karamba jenis ini lebih cocok digunakan di perairan yang agak dalam, tetapi tidak bisa ditempatkan di perairan yang dalam sekali karena perairan seperti ini miskin oksigen. Agar lebih aman, posisi karamba diusahakan tetap berada 20 cm di bawah permukaan air.
Untuk mempertahankan posisi karamba agar tetap berada 20 cm di bawah permukaan air (tidak mengapung ke bagian atas), pada badan karamba perlu ditambahkan pemberat yang terbuat dari batu, besi, atau bahan-bahan lainnya. Kalau arus perairan tersebut agak deras (misalnya di sungai) maka pada setiap sudut karamba dilengkapi jangkar. Hal ini untuk menjaga agar karamba tidak hanyut. Cara lainnya adalah mengikatkan karamba itu pada sebatang pohon yang kuat.
3. Karamba pada permukaan air
Karamba yang mengambang di permukaan air terutama digunakan di danau atau waduk yang berair dalam. Perbedaan yang mencolok terletak pada posisi karamba terhadap permukaan air, yaitu sepertiga bagian atasnya berada di atas permukaan air, sedangkan dua pertiga lainnya terendam dalam air.
Karamba jenis ini juga dilengkapi dengan pemberat yang terbuat dari batu, besi, atau bahan-bahan lainnya. Jumlah pemberat itu harus diatur agar sepertiga bidang permukaan bagian atas dari karamba dapat timbul di permukaan air. Bila pemberat terlalu berat maka karamba akan tertarik ke bawah. Hal ini tidak berpengaruh negatif. Namun, sebaliknya bila pemberat itu terlalu ringan maka bagian yang muncul ke permukaan semakin tinggi. Keadaan seperti ini berbahaya bagi keselamatan ikan. Oleh karena itu, agar lebih aman sebaiknya bagian yang muncul ke permukaan sekitar 25 cm saja.
Karamba yang mengambang di permukaan air ini juga mempunyai risiko. Apabila karamba diletakkan pada bagian air yang berarus agak deras maka dikhawatirkan akan terkena "hantaman" benda-benda yang hanyut bersama arus. Akibat benturan tersebut, ketenangan ikan akan terganggu dan dinding karamba pun cepat rusak. Untuk menghindari hal ini, karamba pada permukaan air sebaiknya diletakkan di perairan yang relatif tenang dan bebas dari hanyutan benda-benda keras.
Agar karamba tidak mudah hanyut terbawa arus maka pada setiap sudut karamba perlu diikatkan jangkar. Lebih aman lagi bila karamba itu diikatkan di pohon atau dibuatkan semacam tambatan.
B. Penebaran Benih
Ada pertimbangan khusus mengenai ukuran, berat, dan jumlah benih ikan patin yang akan ditebarkan di karamba. Pertimbangan yang paling utama tergantung pada arus air tempat karamba itu diletakkan dan juga bahan karamba yang digunakan.
Faktor arus air akan menghambat gerakan ikan patin di dalam karamba, sedangkan bahan karamba perlu dipertimbangkan untuk menjaga agar benih tidak mudah lolos. Oleh karena itu, benih patin yang ditebarkan di karamba harus berukuran relatif besar agar kuat melawan arus dan tidak mudah meloloskan din. Secara umurn, berat awal individu yang akan ditebarkan di karamba lebih dari 50 g. Sebagai contoh, pada penelitian yang dilakukan Balai Penelitian Perikanan Air Tawar (Balitkanwar), benih patin yang ditebarkan mempunyai berat individu sekitar 160 g. Kepadatan penebaran patin di karamba dibatasi. Hal ini terjadi karena ikan patin tergolong ikan yang cepat bongsor. Bila kepadatan penebaran terlalu tinggi, dikhawatirkan akan terjadi kanibalisme terhadap ikan yang kondisi tubuhnya lebih lemah. Hingga kini belum ada literatur yang menyebutkan angka pasti untuk kepadatan penebaran ikan patin di karamba.
Kepadatan penebaran secara umum di karamba ditentukan oleh tingkat intensitas usaha. Apabila ikan diusahakan dalam intensitas penuh dengan lama pemeliharaan sekitar satu tahun maka kepadatan penebaran sekitar 5 kg/m2. Dengan kepadatan penebaran 5 kg/m2, total produksi setelah masa pemeliharaan satu tahun ditargetkan mencapai 30 - 40 kg/m2. Hal ini berlaku untuk semua jenis ikan.
Sebagai bahan pertimbangan, penelitian Arifin dan Asyari (1993) dapat digunakan. Pada karamba berukuran 2 m x 1 m x 1 m dapat ditebarkan sebanyak 25 ekor ikan patin berukuran rata-rata 160 g/ekor. Apabila ukuran benih yang ditebarkan lebih besar maka kepadatan penebarannya dikurangi, dan sebaliknya. Untuk mendapatkan ukuran kepadatan penebaran yang ideal diperlukan beberapa percobaan.
Penentuan ukuran benih yang ditebarkan tergantung pada lamanya waktu pemeliharaan yang diharapkan. Semakin besar ukuran benih patin yang ditebarkan maka waktu pemeliharaannya semakin singkat. Perlu diingat, penebaran benih patin yang berukuran kecil akan menghasilkan produksi yang rendah karena ikan patin berukuran kecil kurang mampu untuk mempertahankan hidupnya pada kondisi air yang mengalir deras.
Pertimbangan lain, ukuran benih patin yang ditebarkan dalam satu karamba sebaiknya mempunyai ukuran yang seragam sehingga kemampuannya mencari makanan sama. Dengan demikian, laju pertumbuhan ikan patin selama masa pemeliharaan akan tetap sama.
C. Pemberian Pakan Tambahan
Salah satu faktor utama yang menentukan keberhasilan pembesaran ikan patin dalam karamba adalah adanya pakan yang mencukupi kebutuhan tubuh ikan patin selama masa pemeliharaan berlangsung. Pada pemeliharaan sistem karamba, secara alami pakan dapat diperoleh dari aliran air yang biasanya mengandung buangan sisa dapur, kotoran manusia, maupun bangkai-bangkai hewan yang hanyut. Meskipun demikian, untuk memacu pertumbuhan patin tidak bisa hanya mengandalkan pakan alami saja. Untuk itu, ikan patin perlu diberi pakan tambahan berupa pelet. Pelet untuk ikan patin yang dipelihara di karamba adalah pelet yang mengandung protein 25 – 30 %. Ransum pelet yang diberikan sebanyak 2 – 3 % dari berat total ikan per hari. Setiap dua minggu atau paling lama setiap satu bulan, bobot ikan patin ditimbang kembali untuk menyesuaikan jumlah pakannya. Agar lebih aman (patin tidak stres) penimbangan cukup dilakukan dengan cara mengambil sampel ikan sebanyak 10 - 25 % saja. Hasil penimbangan ikan sampel menjadi data dalam menentukan berat rata-rata setiap ikan. Hasil kali berat rata-rata dan jumlah individu ikan akan diperoleh berat total ikan di dalam karamba.
Sampai sejauh ini belum ada cara yang lebih praktis dalam pemberian pakan bagi ikan patin di dalam karamba. Oleh karena itu, cara manual masih tetap digunakan. Pemberian pakan ikan patin dilakukan dengan cara ditebarkan melalui "jendela" yang disediakan pada tutup karamba. Penebaran pakan dilakukan sedikit demi sedikit agar pakan tidak banyak yang hanyut terbuang. Jatah pakan diberikan 3 - 5 kali sehari, dimulai pagi hari dan berakhir pada malam hari. Jumlah pakan pada malam hari diberikan lebih banyak daripada pagi atau siang hari karena ikan patin aktif mencari makan pada malam hari.
D. Pengontrolan
Patin yang dipelihara di karamba relatif aman. Meskipun demikian, tindakan pengontrolan tidak boleh diabaikan, terutama untuk karamba yang berada pada perairan berarus deras atau perairan yang banyak bahan hanyutan. Pengontrolan karamba di perairan berarus deras lebih ditekankan pada upaya pencegahan agar karamba tidak terbawa arus. Oleh karena itu, tambatan (ikatan) karamba perlu diamati, barangkali perlu diperbaiki atau diperkuat ikatannya. Apabila perairan itu mengandung banyak bahan-bahan hanyutan maka perlu dibersihkan sesering mungkin. Sampah yang menutupi celah karamba ini akan mengurangi volume air yang masuk ke dalam karamba sehingga pergantian air terlambat yang selanjutnya menghambat pertumbuhan ikan patin.
Karena berada di perairan umum yang berarus mengalir (terutama di sungai) maka kemungkinan terdapat endapan pasir atau lumpur di karamba. Secara berkala, endapan ini diangkat, terutama setelah hujan deras atau banjir. Apabila bahan karamba terbuat dari bilah bambu atau papan maka dinding bagian dalam tidak perlu dibersihkan karena organisme yang tumbuh menempel merupakan pakan yang baik bagi ikan patin. Salah satu upaya untuk menghindari banyaknya endapan lumpur atau pasir di dalam karamba, sebaiknya karamba diletakkan di sungai dengan pola zig zag.
Ikan patin yang dibesarkan di karamba sebaiknya tidak terlalu sering ditangguk (ditangkap dengan serok). Penangkapan ikan di karamba hanya boleh dilakukan pada saat melakukan sampling berat untuk menentukan jumlah pakan yang akan diberikan. Bila terlalu sering ditangkap, dikhawatirkan ikan patin akan stres dan selanjutnya mempengaruhi laju pertumbuhannya.
E. Pemanenan
Seperti halnya pembesaran patin di media lain, pemanenan di karamba pun dilakukan jika bobot ikan sudah mencapai ukuran pasar. Para pemilik karamba umumnya memanen ikan setelah dipelihara selama 6 - 12 bulan. Pemanenan ikan patin pada jenis karamba di dasar perairan dapat dilakukan di tempat karena karamba tersebut dibangun secara permanent dan permukaan airnya juga tidak terlalu dalam. Pemanenan ikan dapat dilakukan dengan menggunakan serok/scoopnet atau bisa juga dengan cara menangkap langsung dengan tangan. Namun, pemanenan ikan patin dengan penangkapan langsung tidak dianjurkan karena dikhawatirkan akan menyebabkan tangan terluka.
Pemanenan ikan patin dilakukan melalui pintu pemanenan yang terletak di bagian tengah bidang permukaan karamba. Pada jenis karamba di bawah maupun karamba di permukaan air, pemanenan ikan dapat dilakukan setelah karamba tersebut ditarik ke tepi perairan. Karena sempitnya pintu pemanenan maka pemanenan biasanya dilakukan oleh maksimal dua orang. Seorang masuk ke dalam karamba dan seorang lagi menyambut ikan dari atas atau tutup karamba. Ikan hasil panenan terlebih dahulu ditempatkan di jaring yang diletakkan pada air mengalir. Bila kondisinya sudah tidak stres lagi, ikan patin hasil panenan tersebut bisa dipindahkan ke wadah pengangkutan untuk segera dipasarkan.
IX
PENGENDALIAN HAMA DAN PENYAKIT
Selama proses budi daya ikan patin, dari pembenihan sampai usaha pembesaran, tidak luput dari gangguan hama dan penyakit. Meskipun tidak diharapkan, kehadiran hama dan penyakit memang sangat mengkhawatirkan.
Hama pada pemeliharaan ikan patin pada hakekatnya adalah predator, yakni mahluk yang menyerang dan memangsa ikan patin. Sementara penyakit adalah terganggunya kesehatan ikan yang diakibatkan oleh parasit atau nonparasit. Secara garis besar, penyakit patin bisa dikelompokkan menjadi dua yaitu penyakit noninfeksi dan penyakit akibat infeksi. Hingga saat ini, belum pernah terdengar epidemi (wabah) penyakit tertentu yang menghantui usaha budi daya ikan patin.
Untuk itu, usaha budi daya ikan patin sebaiknya dibentengi dengan pengetahuan berbagai hama dan penyakit yang potensial mengganggu kelancaran usaha.
A. Hama
Hama bersifat sebagai predator yang memangsa. Pada budi daya ikan patin, kemungkinan serangan hama lebih banyak dialami pada usaha pembesaran sebab usaha pembesaran ikan patin semuanya berlangsung di alam terbuka. Sementara kegiatan pembenihan dilakukan di kolam atau bak tertutup.
Pada pembesaran patin di jala apung, hama yang mungkin menyerang antara lain lingsang, kura-kura, biawak, ular air, dan burung. Hama serupa juga terdapat pada usaha pembesaran patin sistem hampang (pen) dan karamba. Karamba yang ditanam di dasar perairan relatif aman dari serangan hama. Pada pembesaran ikan patin di jala apung (sistem sangkar) di Sungai Musi Ralembang pemah dilaporkan adanya hama berupa ikan buntal {Tetraodon sp. dari famili Tetradontidae) yang merusak jala kemudian menyusup ke dalam dan memangsa ikan.
Hama lainnya berupa ikan liar pemangsa, udang, dan seluang (Rasbora). Ikan-ikan kecil yang masuk ke dalam wadah budi daya juga akan mengganggu. Meskipun bukan hama, tetapi ikan kecil-kecil itu menjadi pesaing bagi ikan patin dalam hal mencari makan dan memperoleh oksigen. Untuk menghindari serangan hama tersebut, unit usaha pembesaran di jala apung (rakit) ditempatkan jauh dari pantai. Biasanya pinggiran waduk atau danau menjadi markas tempat bersarangnya hama tersebut. Karena itulah, semak belukar yang tumbuh liar di pinggir dan di sekitar lokasi sebaiknya dibersihkan secara berkala.
Cara lainnya untuk menghindari serangan hama pada jala apung adalah dengan memasang kantong jaring tambahan di luar kantong jaring budi daya. Mate jaring dari kantong jarring bagian luar ini dibuat lebih besar. Pemasangannya dilakukan pada jarak sekitar 0,5 - 1 m dari kantong jaring yang dijadikan wadah budi daya. Dengan cara ini diharapkan sebelum memangsa dan menyerang ikan, hama tersebut dapat diketahui lebih dahulu karena tertahan di kantong jaring bagian tear.
Untuk menghidari ikan dari serangan hama burung bangau (Leptotilus javanicus), pecuk (Phalacnxomx carbo sinensis), blekok (Ramphalcyon capensis capensis) upaya yang dilakukan adalah menutupi bagian atas wadah budi daya dengan lembaran jaring. Cara ini bermanfaat ganda, selain burung tidak bisa menerobos masuk, ikan patin pun tidak akan berlompatan ke luar dan wadah budi daya.
B. Penyakit
Penyakit non-infeksi adalah penyakit yang timbul akibat adanya gangguan faktor yang bukan patogen. Penyakit non-infeksi tidak menular. Setnentara penyakit akibat infeksi biasanya timbul karena gangguan organisme patogen.
1. Penyakit non-infeksi
Penyakit non-infeksi yang banyak ditemukan adalah keracunan dan kekurangan gizi. Keracunan disebabkan oleh banyak faktor Mungkin karena pemberian pakan yang berjamur dan berkuman atau karena pencemaran lingkungan perairan. Sumber pencemaran tersebut dapat berasal dan hmbah temak yang berlebihan, tumpukan sampah yang membusuk, atau limbah pertanian (pestisida) yang bermuara pada lokasi budi daya Sementara pada kasus kurang gizi, umumnya disebabkan oleh pemberian pakan secara serampangan, kurang bermutu, dan kurang bergizi.
Gejala keracunan dapat diidentifikasi dari tingkah laku ikan. Biasanya ikan yang mengalami keracunan terhhat lemah dan berenang megap-megap di P^mukaan air. Pada kasus yang berbahaya, ikan berenang terbalik kemudian mafa. Pada kasus kurang gizi, ikan tampak kurus dan kepala terhhat lebih besar, tidak seimbang dengan ukuran tubuh. Ikan juga akan terlihat kurang lincah dan berkembang tidak normal.
Untuk mencegah terjadinya kasus keracunan pakan harus diberikan secara selektif dan lingkungan dijaga agar tetap bersih. Bila tingkat keracunan tidak terlalu parah atau masih dalam tarat dini ikan-ikan yang setengah "mabuk" dan berenang limbung tersebut harus segera diangkat dan ditempatkan pada wadah yang berisi air bersih, segar, dan dilengkapi dengan suplai oksigen.
Untuk mencegah kekurangan gizi, pemberian pakan harus terjadwal dan jumlahnya cukup. Pakan yang diberikan harus dipastikan mengandung kadar protein tinggi yang dilengkapi lemak, vitamin, dan mineral. Selain itu, kualitas air tetap dijaga agar selalu mengalir lancar dan parameter kimia maupun biologisnya mencukupi standar budi daya.
2. Penyakit akibat infeksi
Organisme patogen yang menyebabkan infeksi biasanya berupa parasit, jamur, bakteri, atau virus. Produksi benih ikan patin secara massal masih menemui beberapa kendala antara lain karena sering mendapat serangan parasit Ichthyoptirus multifilis (white spof) sehingga banyak benih patin yang mati, terutama benih yang berumur 1 - 2 bulan. Dalam usaha pembesaran patin belum ada laporan yang mengungkap secara lengkap serangan penyakit pada ikan patin. Namun, untuk pencegahan, beberapa penyakit akibat infeksi berikut ini sebaiknya diperhatikan.
a. Penyakit parasit
Penyakit white spot (bintik putih) disebabkan oleh parasit dari bangsa protozoa dari jenis Ichtyhyopthirius multifiliis Foquet. Oleh kalangan ahli perikanan, penyakit ini disebut sebagai "penghancur ikan". Buktinya, benih patin berumur 1 - 2 bulan dapat habis dalam waktu singkat karena terserang penyakit ini.
Keganasan protozoa berukuran mikro ini memang ganas. Organisme ini menempel pada tubuh ikan secara bergerombol sampai ratusan jumlahnya sehingga akan terlihat seperti bintik putih. Tempat yang disukainya yaitu di bawah selaput lender sekaligus merusak selaput lendir tersebut.
Oleh karena jumlahnya banyak, serangannya bersifat kosmopolit sehingga sangat berbahaya. Bila perairan mengalami perubahan suhu mendadak, serangannya akan semakin meningkat Pada tahap awal serangan, white spot biasanya menyerang daerah pangkal sirip ikan. Bila keadaan mendukung, daerah serangan akan semakin meluas hingga ke insang.
Cara yang sudah terbukti manjur untuk memberantas penyakit ini adalah dengan menggunakan methilene blue atau metil biru yang tersedia banyak di apotek atau tokoobat. Caranya, dibuat larutan metil biru dengan konsentrasi 1 % (satu gram metil biru dalam 100 cc air). Ikan patin yang sakit dimasukkan ke dalam bak yang berisi air bersih Kemudian ke dalamnya diberi larutan baku yang sudah dibuat tadi. Ikan dibiarkan di dalam larutan selama 24 jam. Agar ikan yang sakit benar-benar sembuh dan terbebas dari parasit, pengobatan dilakukan berulang-ulang selama tiga kali dengan selang waktu sehari.
b. Penyakit jamur
Penyakit lain yang dapat menyerang ikan patin adalah penyakit jamur. Penyakit jamur biasanya terjadi akibat adanya lka pada badan ikan. Luka itu dapat berupa goresan maupun luka akibat serangan penyakit (penyakit lain). Penyebab penyakit jamur ini adalah Saprolegnia sp. dan Achlya sp. Pada kondisi perairan yang jelek, kemungkinan patin terserang jamur lebih besar.
Cara mudah untuk mengetahui ikan patin yang terserang jamur adalah dengan mengamati keadaan sekujur tubuhnya. Ikan patin yang terserang penyakit jamur, pada bagian tubuhnya (terutama daerah kepala, tutup insang, sirip, dan bagian punggung) tampak ditumbuhi benang-benang halus seperti kapas berwarna putih hingga kecokelatan. Benang-benang halus tersebut biasanya lebih banyak tumbuh pada bagian tubuh yang terluka.
Pencegahan penyakit jamur dapat dilakukan dengan cara menjaga kualitas air agar kondisinya selalu ideal bagi kehidupan ikan patin. Agar ikan tidak terluka, perlakuan hatrhati pada saat penebaran ataupun sampling sangat diperlukan.
Ikan yang terlanjur sakit harus segera diobati. Apabila tidak, serangan penyakit jamur akan menyebabkan ikan kurus akhirnya ikan mati merana. Obat yang biasanya digunakan adalah malachyt green oxalate sejumlah 2 - 3 g/m3 air (1 liter) selama 30 menit. Caranya, ikan patin yang sakit dimasukkan ke dalam wadah yang telah diisi air bersih yang sudah dicampur dengan larutan tadi. Pengobatan diulang sampai tiga hari berturut-turut.
c. Penyakit bakteri
Penyakit bakteri juga menjadi ancaman bagi ikan patin. Penyakit bakteri yang mungkin menyerang ikan patin adalah penyakit bakteri yang juga biasa menyerang ikan-ikan air tawar jenis lainnya, yaitu Aeromonas sp. dan Pseudomonas sp.
Ikan yang terserang bakteri mengalami perdarahan pada bagian tubuh terutama di bagian dada, perut, dan pangkal sirip. Selaput lendir rusak dan lendir pada tubuh berkurang. Gejala ini dapat diketahui bila ikan diraba tubuhnya akan terasa kasar atau kasap. Ikan patin yang terserang bakteri menjadi lemah dan sering muncul ke permukaan air. Karena penyakit ini mudah menular maka bila ada ikan patin yang sudah terserang dan keadaannya cukup parah harus segera dimusnahkan. Sementara ikan yang terinfeksi, tetapi belum parah (permukaan tubuh masih cukup berlendir) bisa dicoba beberapa cara pengobatan. Misalnya saja dengan merendam ikan dalam larutan kalium permanganat (PK) 10 - 20 ppm selama 30 - 60 menit, merendam ikan dalam larutan nitrofuran 5 - 10 ppm selama 12 - 24 jam, atau merendam ikan dalam larutan oksitetrasiklin 5 ppm selama 24 jam.
Cara lain yang lebih praktis dalam pengobatan penyakit bakteri adalah melalui makanan. Makanan ikan patin yang akan diberikan dicampur dulu dengan Chloromycetin 1 – 2 g untuk setiap 1 kg pellet. Hal yang harus diperhatikan adalah tetap menjaga kualitas air agar selalu sesuai dengan kebutuhan hidup yang ideal bagi ikan patin.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, Bahan dan Pembenihan Jenis lkan Air Tawar (Banjarbaru : Balai Informasi Pertanian, 1985).
Anonim, Budi Daya Ikan Air Tawar (Jakarta: Direktorat Jenderal Perikanan, 1988).
Afrianto, Edy dan Evy Liviawati, Beberapa Metode Budi Daya Ikan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1988).
Arifin Zainal, "Pemeliharaan Benih Patin (Pangasius Pangasius), dalam Berbagai Salinitas", Buletin Penelitian Penkanan Darat Vol. 9 No. 1, Juni 1990.
_____ dan Asyari, Pengaruh Pakan Terhadap Pematangan Calon Induk Ikan Patin (Pangasius pangasius) dalam Presiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar 1992/1993.
_____ Pembesaran Ikan Patin (Pangasius pangasius) dalam Sangkar di Kolam dengan Kualitas Air yang Berbeda dalam Presiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar 1991/1992, Balitkanwar, Bogor, 1992.
_____ dengan Sistem Resirkulasi dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar 1991/1992, Balitkanwar, Bogor, 1992.
_____, Pendederan Benih Ikan Patin (Pangasius pangasius) dalam Sangkar dalam Presiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar 1991/1992, Balitkanwar, Bogor, 1992.
Arifin, Zainal, dkk., Perawatan Larva Ikan Patin (Pangasius pangasius) dengan Ungkungan Air yang Berbeda dalam Presiding Seminar Hasil Penelitian Parikanan Air Tawar 1992/1993.
_____ Budi Daya Ikan Patin (Pangasius pangasius) dalam Prosiding Temu Karya Ilmiah Perikanan Perairan Umum, Pengkajian Potensi dan Prospek Pengembangan Perairan Umum Sumatera Bagian Selatan, Palembang 12 - 13 Februari 1992.
Hardjamulia, Atmadja dan Suherman Atmawinata, Teknik Hipofisasi Beberapa Jenis Ikan Air Tawar dalam Presiding Lokakarya Teknologi Tepat Guna Pengembangan Perikanan Budi Daya Air Tawar 22 - 31 Januari 1980.
Jangkaru, Zulkifli, Makanan Ikan (Bogor: LPPD, 1974).
Kristanto, Anang Hari, "Teknologi Pembenihan dan Pembesaran Ikan Patin", makalah yang disampaikan dalam Temu Aplikasi Teknologi Pertanian di Kalimantan Tengah, tanggal 25 - 26 januari 1995.
Mujiman, Ahmad, Makanan Ikan (Jakarta: Psnebar Swadaya, 1989).
Mulyanto, Ungkungan Hidup untuk Ikan (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990).
Soeseno, Slamet, Pemeliharaan Ikan di Pskarangan (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1976).
Widiyati, Ani, dkk., Pengarvh Padat Tebar Induk Patin yang Dipelihara di Keramba Jaring Apung dalam Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan Air Tawar 1991/1992,
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Thanks infonya, jangan lupa kunjungi website kami http://bit.ly/2OZLaHI
BalasHapus